Menetapkan Batasan Sehat dalam Hubungan Toxic dengan 2 Cara
Batasan Sehat. Ketika kita mendengar kata “toxic relationship” atau “hubungan toxic,” sering kali kita membayangkan drama berat dan konflik tiada henti seperti yang misal kita lihat di Drama Korea atau sinetron.
Namun, kenyataannya, hubungan toxic atau hubungan yang beracun tidak selalu tampak begitu jelas.
Mereka yang tergolong toxic bisa datang dari orang-orang terdekat seperti keluarga, teman, atau pasangan, yang seharusnya memberikan kita kasih sayang, rasa aman dan nyaman. Terkadang kita pun tidak menyadari red flag walau orang-orang terdekat mungkin berusaha memperingati.
Saya pun seperti itu dan membuat justifikasi atas perilakunya. Tanpa saya sadari, saya menolak menerima fakta tidak diperlakukan dengan baik karena itu membuat saya merasa “tidak atau kurang disayangi.”
Blogpost kali ini adalah cerita tentang bagaimana saya menemukan kekuatan untuk menetapkan batasan sehat dalam hubungan yang beracun dan bagaimana keputusan itu mengubah hidup saya.
Awal Mula Menyadari
Dulu (dan sampai sekarang masih berjuang), saya adalah seseorang yang selalu berusaha menyenangkan orang lain dan sering punya “schlechtes Gewissen” atau perasaan bersalah. Akibatnya saya cenderung mengutamakan kebutuhan mereka di atas kepentingan saya sendiri.
Saya pikir itulah yang disebut cinta dan loyalitas. Namun, semakin lama saya berada dalam hubungan yang merugikan ini, semakin saya merasa kehilangan jati diri. Saat pulang ke Indonesia, orang terdekat yang membuat saya berjuang dengan blood and tears, lebih sering membuat saya merasa kecil dan tidak berharga. Di saat kondisi sulit, tidak bisa mengerti posisi saya dan hanya ingin kebutuhannya didahulukan.
Pada titik itu, saya tahu ada yang salah, tetapi saya tidak tahu harus berbuat apa. Selama ini saya terus bertahan, berharap segalanya akan membaik. Tapi kenyataannya, semakin saya berkompromi, semakin dalam saya terjebab. Hingga sampai beberapa waktu yang lalu, saya menyadari bahwa saya tidak lagi mengenali diri saya sendiri. Itulah saat saya memutuskan sudah waktunya menetapkan batasan yang sehat untuk menjaga hubungan dan kewarasan.
Menetapkan Batasan Sehat, Langkah Pertama Menuju Kebebasan
Menetapkan batasan sehat dalam hubungan toxic tidaklah mudah, apalgi ketika perasaan kita sendiri terlibat dalam. Namun, walau begitu saya memulainya dengan langkah kecil, yaitu dengan bertanya pada diri sendiri apa yang saya butuhkan untuk merasa aman dan dihargai.
Agar tidak lupa, saya menulis refleksi ini di buku diary tentang apa yang saya rasakan, yang membuat saya kecil dan tidak nyaman. Lalu saya menuliskan kira-kira seperti ini:
“Aku butuh ruang untuk diriku sendiri. “
“Aku memaafkan dia dan diriku sendiri.”
“Aku berhak mengatakan tidak tanpa merasa bersalah.”
“Aku ingin diperlakukan dengan hormat.”
Langkah berikutnya adalah mengkomunikasikan batasan tersebut.
Bisa dibilang ini adalah bagian yang paling menantang karena saya tahu orang yang toxic sering kali tidak merespons dengan baik.
Saya ingat saat pertama kali saya mengatakan kepada seorang teman lama bahwa saya tidak bisa terus berada di dekatnya jika dia terus-menerus merendahkan saya. Terus terang, saat itu saya gemetar dan takut akan reaksinya, tetapi saya tahu saya harus melakukannya.
Ternyata, dia marah besar (seperti yang sudah diduga sebelumnya). Dia menuduh saya egois, tidak mengerti dia, dan terlebih tidak menghargai pertemanan kami. Tetapi untuk pertama kalinya, saya tidak mundur.
Saya tetap tenang, tidak terpancing emosinya dan menjelaskan bahwa ini bukan tentang dia, melainkan tentang menjaga mental dan kewarasan saya sendiri. Meskipun perasaan takut masih ada, ada juga perasaan lega. Saya merasakan seperti beban yang telah saya pikul selama bertahun-tahun akhirnya terangkat.
Menjaga Batasan Sehat
Jika kamu mengira dengan menetapkan batasan sehat saja sudah cukup. Oh tentu tidak cukup, dear!
Menetapkan batasan hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah menjaganya, terutama ketika orang tersebut berusaha memanipulasi kita untuk kembali ke pola lama.
Seperti misalnya, membuat seolah-olah semua itu salah kita. Atau bisa juga dia berubah untuk sementara waktu. Sampai kita mungkin berpikir kalau dia benar-benar berubah. Lalu ketika kita sudah put our guard down atau menurunkan kewaspadaan kita, dia akan kembali ke perilaku semula.
Saya pun mengalaminya.
Ada saat-saat ketika saya meragukan keputusan saya, terutama ketika saya merasa bersalah karena membuat orang lain marah dan membuat hubungan menjadi renggang.
Namun, setiap kali saya merasa ingin kembali ke hubungan yang merugikan itu, saya mengingatkan diri sendiri tentang rasa lega yang saya rasakan ketika saya menetapkan batasan sehat untuk pertama kalinya.
Saya belajar bahwa menjaga batasan adalah bentuk dari self-love atau cinta terhadap diri sendiri walaupun diri sendiri tidak sempurna (perfectly imperfect). Ini adalah cara saya mengatakan bahwa saya layak diperlakukan dengan baik, dan bahwa hubungan yang sehat tidak akan meminta saya mengorbankan mental health saya sendiri.
Dampak Positif dari Batasan Sehat
Seiring waktu, sesuatu yang luar biasa terjadi.
Seperti prinsip The Law of Attraction, saya mulai menarik orang-orang yang menghargai batasan saya. Mereka yang tidak menghormati saya perlahan-lahan mundur dari hidup saya. Kalaupun ada komunikasi, hanya seperlunya saja.
Meskipun ini awalnya terasa menyakitkan, saya sadar bahwa ini adalah bagian dari proses penyembuhan.
Saya mulai merasakan kebebasan yang sebelumnya belum pernah saya rasakan. Kebebasan untuk menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi, tanpa merasa terjebak dalam hubungan yang menguras emosi.
Hubungan saya dengan diri sendiri juga berubah. Saya mulai bisa mencintai dan menghargai diri sendiri. Satu hal yang saya sadari dari sini adalah menetapkan batasan bukan perkara tentang menjaga jarak dari orang lain, tetapi tentang melindungi dan self-care atau merawat diri saya sendiri.
Rekomendasi Buku untuk Memperkuat Diri
Ada beberapa buku yang saya bisa rekomendasikan buat kamu yang ingin keluar dari toxic relationship dan mulai menciptakan healthy boundaries.
Seri Boundaries yang ditulis oleh Dr. Henry Cloud dan Dr. John Towsend adalah buku yang memberikan panduan praktis tentang cara menetapkan batasan dalam semua aspek kehidupan. Ada setidaknya tiga buku yang ditulis dua pakar ini, yaitu “Boundaries: When to Say Yes, How to Say No to Take Control of Your Life,” “Boundaries in Dating: Batasan-Batasan Dalam Pacaran,” dan “Boundaries for Leaders.”
Buku selanjutnya yang saya rekomendasikan adalah buku yang saya yakin sudah banyak orang yang baca. Buku itu berjudul “The Courage to be Disliked” atau “Berani Tidak Disukai” yang ditulis oleh Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga. Buku ini mengajarkan pentingnya untuk berfokus pada apa yang di dalam kontrol kita dan menetapkan batasan.
Buku yang terakhir adalah “Give Yourself Some Space” ditulis oleh Hisako Yukawa, seorang pengacara pertama di negara Sakura yang sudah sangat sepuh. Buku ini baru saja saya selesaikan hari ini dan sangat terkesan bagaimana menjaga jarak bukan berarti memutuskan silaturahmi tetapi mencari penyelesaian agar kita bisa hidup harmonis berdampingan.
Ini adalah Awal dari Perjalanan
Menetapkan batasan sehat dalam hubungan toxic bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah perjalanan. Setiap langkah adalah tindakan yang berani sebagai bentuk penghargaan dan cinta terhadap diri sendiri.
Saya tahu, proses tidak mudah, tapi hasilnya adalah kehidupan yang lebih damai, lebih jujur, menjalani hidup kita sendiri dan lebih bahagia. Buat kamu yang punya pengalaman, bisa ceritakan di kolom komentar. Siapa tahu bisa menjadi insight buat saya dan pembaca lainnya.
Sampai jumpa di Blogpost berikutnya!
Stay happy and sane
XOXO