Bingsu Namu Cafe
Jurnal

Bingsu dan Obrolan Seru di Namu Korean Café Düsseldorf

Caffee Latte Namu Cafe

Bingsu. Bulan Februari adalah bulan di musim dingin di Jerman. Kadang terlalu dingin buat keluar rumah dan terlalu dingin buat makan es, katanya.

Aku malah lebih suka makan es di musim dingin karena es tidak cepat mencair dan cocok buat slow eater kaya aku, yang ingin menikmati setiap suapannya.

Düsseldorf, di tengah kota yang sibuk ini, ada satu sudut yang selalu menarik hati – Namu Cafe. Sebuah tempat yang memadukan suasana hangat dengan sentuhan minimalis khas Korea, lengkap dengan pilihan dessert yang bikin lidah penasaran. 

Awal bulan Februari 2024 ini, aku dengan Ine, seorang teman lama memutuskan untuk menyambung obrolan kami setelah makan siang di Kushi Tei, sebuah Restoran Jepang. 

Kami memang tidak punya jadwal tetap untuk bertemu. Kadang bisa setengah tahun sekali, kadang bahkan setahun sekali. Tapi satu hal yang pasti, ketika kami duduk bersama, waktu seperti berhenti sejenak.

Jadi, apa kabar dunia?” tanyanya sambil tertawa kecil ketika kami duduk di salah satu sudut restoran.

Ah, dunia masih sama. Tapi isi kepalaku yang kayaknya udah penuh sesak,” balasku sambil tertawa.

Pertemuan yang bahkan tidak setiap minggu atau bahkan setiap bulan, singkatnya bisa dibilang sangat jarang, tapi percakapan kami selalu bisa melompat satu topik ke topik lain tanpa henti. Dari pekerjaan, mimpi-mimpi yang ingin dicapai, hingga obsesi terbaru kami tentang self-development.

Gimana dengan buku terakhir yang kamu baca? Masih tentang mindfulness?” tanyanya lagi sambil menyeruput segelas kopi latte yang baru saja kami ambil di counter. Disini setelah kamu memesan, akan dapat sejenis beeper yang akan berbunyi dan bergetar saat pesanan kamu sudah siap.

Aku mengangguk, “Iya, tapi sekarang aku lagi coba mempraktikan konsep stoicism. Ternyata mengendalikan emosi itu seni yang lebih sulit dari yang kelihatan,”

Setuju banget. Aku juga coba lebih sadar sama apa yang aku pikirin setiap hari. Biar nggak kebawa pikiran-pikiran negatif yang muncul begitu aja,” dia menambahkan, dan obrolan kami pun mengalir begitu saja. 

Topik sempat beralih ke orang Korea yang kulitnya pada bagus dan punya body goals ketika kami menyadari kalau kami dikelilingi sebagian besar oleh orang Korea. Keluarga mixed race di sebelah kiri kami, Ibunya orang Korea terlihat awet muda dengan dua orang anak yang gorgeous. Uniknya mereka berbicara Korea walaupun ayahnya orang Jerman. 

Di sebelah kanan, ada beberapa anak muda berusia awal 20 tahun an yang duduk di pojokan dekat kaca juga orang Korea dan mereka sangat sophisticated dengan pilihan baju yang casual tapi nggak biasa.

 

Ngobrolin Apa Aja Asal Ada Bingsu

Sebenarnya, alasan utama kami memilih Namu Cafe kali ini adalah kami berdua ingin mencoba Bingsu mereka yang katanya enak banget. Dan memang, ketika aku menaruh semangkuk besar es serut Korea yang tertutup dengan matcha dan saus matcha dikelilingi dengan kacang merah manis, tampak sangat menggiurkan.

 

Bingsu dan Namu Cafe

Ini kelihatan enak banget! Gimana kalau kita bikin review foodies ala-ala?” candaku sambil mengeluarkan ponsel, siap untuk memotret (tadaaa .. hasil jepretan di atas. Maafkan kalau kurang estetik, karena udah pengen nyendok aja).

Ine hanya tertawa, “Review: recommended banget buat mereka yang lagi galau dan butuh yang manis-manis.”

Sambil menikmati Bingsu yang benar-benar sejuk, enak dan manis, percakapan kami semakin dalam. Topik tentang rencana naik haji bareng tahun ini, relationship, bahkan filosofi hidup semuanya mengalir dengan mudah. Mungkin itu yang membuat pertemuan kami selalu terasa spesial. Meski jarang tapi setiap kali bertemu, ada banyak hal yang bisa dibicarakan, dari A to Z, tanpa pernah merasa bosan.

Tau nggak, kayaknya kita bisa bikin podcast nih,” dia bercanda lagi. “Topiknya tuh : Ngobrolin apa aja, asal ada Bingsu.”

Aku tertawa, “Deal! Asal kamu yang urus edit-editnya, ya?”

Seiring berjalannya waktu, sore saat winter di Namu Cafe berubah seperti malam yang penuh kehangatan. Setelah kami menghabiskan waktu 1-2 jam di sana, akhirnya harus berpisah lagi, kembali ke rutinitas masing-masing. Tapi seperti biasa, pertemuan itu memberi energi baru, ide-ide segar, dan tentunya, rasa manis yang masih terasa dari Bingsu yang membuat kami berasa di Korea.

Mungkin itulah yang membuat pertemuan di Cafe bisa jadi spesial. Bukan hanya makanan atau minumannya yang enak, tapi juga karena tempat ini menjadi latar bagi deep talk yang jarang terjadi, di antara dua teman yang mungkin tidak sering bertemu, tapi selalu merasa dekat.

Next time, kita cobain Korean cafe lain lagi, ya? Siapa tahu ada Bingsu yang lebih enak,” aku mengusulkan sambil kami berjalan keluar cafe.

“Okehhh. Sampai ketemu semoga nggak setahun lagi ya!” jawabnya sambil tertawa, dan kami pun berpisah dengan senyuman

You cannot copy content of this page