Setiap negara yang menandatangani Kesepakatan iklim Paris mempunyai pendekatan dan prioritas yang berbeda di seluruh dunia. Jika prioritas di Jerman adalah perihal energi terbarukan, Jepang mempunyai fokus pada produksi dan penggunaan hidrogen. Jepang mempunyai target di tahun 2040, sudah mempunyai pasokan lengkap teknologi hidrogen sebagai pengganti bahan bakar fosil.
Indonesia mempunyai fokus untuk mengganti energi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia, yaitu listrik dan bahan bakar kendaraan. Selain membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro), Indonesia juga mulai membangun PLT energi terbarukan seperti PLT angin, mendorong penggunaan panel surya di rumah, penggunaan biofuel serta inovasi biodiesel dari pemanfaatan limbah seperti minyak jelantah.
Namun seperti yang disampaikan Kak Fariz Panghegar, Research Manager dari Traction Energy Asia, pembangunan seperti misalnya PLT energi terbarukan masih menjadi tantangan bagi Indonesia. Misalnya saja untuk membuat PLT angin, lokasi berarti harus di daerah perbukitan tinggi. Namun untuk membangun infrastruktur ini, membutuhkan biaya yang sangat tinggi dan memakan waktu bertahun-tahun karena lokasi daerah potensial yang jauh dari penduduk dan belum didukung dengan infrastruktur yang memadai seperti jalan, jembatan dan grid listrik.
Selain itu jika dilihat dari kualitas pendidikan, kurikulum pendidikan energi terbarukan di perguruan tinggi di Indonesia masih minim sehingga menyebabkan kurangnya ahli energi sehingga masih jarangnya Research and Development.