
Ruang yang Tak Terlihat Part 1. Rue

Pukul 03 pagi, aku menerima panggilan masuk dari Rue.
Pukul 03:30 pagi, aku duduk di hadapan Rue, merasakan beban di ruang yang tak terlihat, yang menghimpit dirinya seakan-akan menjadi beban yang sama beratnya di dadaku.
Ruang belajar terasa lebih sunyi, walau dari ruangan sebelah terdengar lantunan lagu Rose. Nafas Rue terdengar sesekali terputus karena emosi.
Nama Rue tampak menunduk, menatap cangkir teh yang belum disentuhnya. Untuk beberapa waktu, kami hanya terdiam seperti ini. Aku tidak ingin mendesaknya atau menanyakan apa yang membawanya kemari di pagi buta, di bulan Januari di Jerman yang dingin, tapi aku tahu ada sesuatu yang harus keluar dari hati atau pikirannya sebelum semuanya menjadi terlalu berat.
“Rue, kamu nggak sendirian,” kataku pelan, mencoba menjaga nada suaraku serendah dan selembut mungkin.
Dia mengangkat wajahnya yang sembab, matanya memerah. “Aku tahu kamu akan bilang begitu, tapi kadang aku nggak merasa itu benar. Aku tahu kamu peduli, tapi …. aku nggak tahu apakah itu cukup.”
Aku menarik napas sedalam mungkin, pikiranku terbang ke percakapan kami beberapa bulan ke belakang – tetang keluarganya yang tak pernah benar-benar ada untuknya, tentang penolakan-penolakan yang terus datang, tentang berjuang untuk hidup yang lain sementara diri sendiri berjuang untuk bertahan, tentang bagaimana ia merasa dunia hanya menginginkan dirinya saat dia bisa memberikan sesuatu.
Aku kenal perasaan itu.
Ketika semua terasa berat, kegelapan perlahan merayap mendekat.
“Rue, aku tahu rasanya. Merasa nggak cukup baik. Merasa ditolak. Seakan setiap kegagalan kecil atau besar jadi bukti kalau kita nggak pantas hidup. Tapi kamu tahu nggak? Hidup itu lebih dari sekedar penerimaan dari orang lain. Kadang, yang mesti kita lakukan adalah menerima diri kita sendiri dulu.”
Rue menggigit bibirnya. Aku menatapnya dan menyadari kalau pipinya lebih cekung. “Dia sepertinya turun banyak berat badan belakangan ini,” pikirku.
Tak lama Rue berkata, “Gimana cara menerima diri sendiri? Aku sudah mencoba, entah mungkin ribuan kali. Tapi aku merasa … aku bahkan nggak tahu siapa aku lagi.”
Aku mendekat, memegang tangannya yang dingin.
“Kamu itu Rue. Sahabat aku. Orang yang aku sayang. Orang yang selalu punya cerita lucu di tengah-tengah hari yang sulit. Orang yang selalu ingat ulang tahun semua orang meski mereka lupa ulang tahunmu. Orang yang selalu ada buat semua orang. Kamu itu kuat, meskipun kamu nggak merasa begitu sekarang.”
Dia terisak, tangisnya pecah dan terdengar sangat memilukan.
Setelah beberapa saat menangis, dia berkata dengan suara lirih, “Aku capek,” katanya sambil memukul dadanya. “Aku capek merasa seperti ini. Aku capek berharap ada yang peduli. Aku capek berharap keluargaku mencintaiku apa adanya, bukan hanya ketika aku bring money to the table.”
Aku mengangguk.
“Aku ngerti. Terkadang cinta yang dari keluarga terasa kaya syarat yang harus kita penuhi….. tapi kamu tahu, Rue? …. Mereka juga manusia,”
Aku lalu terdiam sejenak untuk meredakan emosi pedih.
“Kadang, mereka nggak tahu caranya mencintai tanpa syarat. Dan itu bukan salah kamu. Kamu berhak buat dicintai, tanpa harus menjadi versi sempurna dari diri kamu.”
Dia mengangguk pelan, meski aku tahu kalau ini bukan sesuatu yang bisa disembuhin hanya dengan kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku cuman pengen dia tahu, kalau meski dia merasa dunia sepi, ada orang-orang yang siap ngedengerin.
“Rue,” lanjutku, “kita nggak bisa milih asal keluarga kita, tapi kita bisa milih siapa yang kita jadikan support system. Aku tahu ini mungkin nggak mudah, tapi aku ada disini buat kamu. Dan aku yakin, ada orang lain terdekatmu yang juga peduli. Kadang, kita harus membuka diri sedikit lebih lebar supaya mereka bisa masuk.”
Rue mengusap wajahnya, membersihkan sisa-sisa tangisan, dan menghela nafas panjang. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
“Dari langkah kecil,” kataku, tersenyum. “Dari ngebiarin dirimu tahu kalau it’s ok not to be ok. Nggak apa apa kalau merasa sedih. Tapi juga ngga apa-apa buat minta bantuan. Kamu bisa mulai nyari bantuan profesional kalau kamu rasa the things is a bit out of control. Dan kalau kamu butuh safe house, kamu selalu welcome buat datang ke sini.“
Rue menatapku, dan buat pertama kalinya pagi buta itu, aku melihat secercah harapan di matanya. “Makasih,” katanya, suaranya masih lirih tapi terdengar genuine.
Dan aku benar-benar berharap Rue tahu, kalau dia nggak sendiri. Nggak benar-benar sendiri.
Wuppertal, 25.01.25
Klik disini, buat baca Part 2
Ruang yang Tak Terlihat
Pada akhirnya, kita kita semua membutuhkan sebuah ruang yang tak terlihat untuk merasa. Ruang untuk sembuh. Dan ruang untuk percaya, kalau kita nggak pernah benar-benar sendiri.
Aku jadi teringat kata-kata salah seorang temanku ini di postingan kemarin.
“Kadang hidup tidak memberikan kita pilihan agar kita tidak memilih pilihan yang salah.”
xoxo

You May Also Like

10 Puisi Pilihan Panduan Sehari-hari Kaum Introver dan Mager
September 9, 2021
Self Reward, Pentingkah Memberikannya untuk Diri Sendiri?
Agustus 5, 2024