Kamu, Aku dan Dia (Cerpen)
Kamu, Aku dan Dia – Musim semi sudah datang. Tercium wangi udara seperti Parfum beraroma bunga. Manis tetapi tidak menyengat. Aku selalu menghabiskan waktu untuk berjalan lebih banyak di musim Semi dibandingkan musim lainnya.
Menyusuri pinggiran danau Danube, aku lebih memilih mengamati jendela rumah dan pertokoan yang berjejer di depan danau Danube.
Sudah setahun aku pindah ke kota Salzburg. Kota kelahiran musisi terkenal, Mozart. Bersikeras untuk melanjutkan pendidikan di bidang Musik, aku sempat berseteru dengan Ezra, pacarku.
Tiga tahun yang lalu. kami mengikuti SBMPTN dengan memilih fakultas yang sama. Ketika menerima hasil pengumuman yang menggembirakan untuk kami berdua, aku malah memutuskan untuk mengambil beasiswa sekolah di kota Salzburg, Austria. Aku dan dia memang pernah berjanji untuk kuliah satu fakultas. Akhirnya walau berat, dia melepasku pergi dengan harapan setiap tahun aku pulang ke Bandung.
Hanya di tahun pertama ketika aku pulang, kami bertatap muka tidak lewat video call. Itupun di pernikahan kakakku. Summer job lebih mengasyikan pikirku. Uangnya bisa membantuku di bulan-bulan ujian yang tidak memungkinkan mencari uang tambahan untuk kelangsungan hidup.
Mengasyikan buatku, belum berarti itu yang sama dirasakan Ezra. Grafik frekuensi komunikasi kami makin lama makin menurun. Teddy, sahabat Ezra bilang, “Ezra aktif di softball, mungkin salah satu cara menyibukan pikirannya tanpamu”.
Kamu, Aku dan Dia
Awalnya mungkin seperti itu, namun bulan berganti terkadang kami lupa kapan terakhir kali menyapa. Aku hanya mendengar kabarnya dari Teddy, yang tidak hanya bercerita tentang Ezra tapi terkadang berangan-angan jika kami bertiga masih bersama seperti masa SMA.
Aku, Ezra dan Teddy bersekolah di SMA yang sama. Semenjak aku pacaran dengan Ezra, jadi dekat juga dengan Teddy. Aku dan dia malah lebih sering menghabiskan waktu bersama, dibandingkan dengan Ezra. Teddy selalu ada di segala cuaca hatiku.
Malam itu, sepulang dari pekerjaanku jadi waitress di salah satu cafe, aku mendapati puluhan missed call dari Teddy. Ezra kecelakaan dalam perjalanan Sumedang Bandung. Aku bertanya, “Apa yang Ezra lakukan di Sumedang?”. Teddy hanya diam, sulit untuk menjelaskan.
Keesokan harinya, Ibu menelponku, dan berkata, “Nduk, Ibu sudah menengok Ezra. Dia sudah masuk ruangan perawatan, luka-luka dan patah kaki. Yang terluka parah hanya Ela, temannya. Kamu kenal Ela, Nduk?
Sesaat aku mencoba mengumpulkan ingatan tentang Ela, lalu menjawab, “Matur Nuwun sudah menengok Ezra, bu. Iya, Rara kenal siapa Ela. Ibu sudah sampai di rumah?.
Terdengar suara tarikan nafas panjang Ibu sebelum berkata, “Ibu sedang berbelanja. Ya sudah, baik-baik disana ya Nduk. Jangan lupa untuk senyum dan bahagia”.
Semoga Ibu tidak tahu, aku kenal Ela hanya dari cerita Teddy. Ela adalah teman satu klub Softball yang dikabarkan sekarang dekat dengan Ezra. Ini bukan kali pertama kudengar, mereka jalan berdua bersama. Sebelumnya ada sederetan panjang nama lain yang juga dekat dengan Ezra.
Kadang Teddy dan aku bercanda kalau menjadi Arsitek bukanlah profesi yang tepat buat Ezra jika dia lulus nanti. Profesi yang cocok buat Ezra adalah pemburu. Semakin sulit buruan didapat, semakin bersemangat memburunya.
Bertengkar soal ini sudah sering, dari kelas 1 SMA tepatnya. Namun tidak pernah ada kata putus. Aku pun mulai tidak mempermasahkan sifatnya sejak kami naik ke kelas 2.
Teddy mencoba mengobati kepedihan hatiku dengan berkata, “Kamu adalah tropi berburu Ezra paling tinggi. Dia hanya berburu yang kecil-kecil saja. Target utamanya adalah perempuan yang aku sukai”. Kemudian Teddy tergelak.
Lelucon tentang Ezra ini kerap jadi perbincangan kami. Yang tadinya sulit untuk menerima, semakin lama jadi terbiasa dan bisa menertawakannya.
Terkadang Teddy yang iseng, bercerita kepada Ezra tentang perempuan yang dia suka walau itu tidak benar adanya. Kadang tidak butuh lama buat Ezra untuk menaklukan buruannya.
Ketika aku tanya, apakah Teddy pernah marah kepada Ezra soal ini. Teddy menjawab, “Kamu pasti lupa, kalau Ezra adalah juga sepupuku. Marah tidak akan menyadarkannya, yang ada hanya retaknya hubungan. Paling bagus adalah membiarkan dia sendiri mengambil keputusan”.
Benar saja, dua – tiga kali … Ezra meminta maaf atas sikapnya kepada Teddy. Ya, dua – tiga kali dari yang tidak terhitung.
Aku masih ingat di hari ulang tahun Ezra ke-19 tahun, Teddy bercerita kalau dia memberi kado berupa trophy bertuliskan “Kamu, Aku dan Dia”. Ketika aku bertanya kado apa yang dia dapatkan dari Teddy, Ezra menjawab, “Sebuah trophy, karena aku selalu menang”.
Ada nada kebanggaan disitu, entah untuk apa. Sama seperti perasaanku pada Ezra, entahlah bertahan untuk apa. Bosan dengan pertengkaran yang itu-itu saja, aku memilih untuk membiarkan diriku hanyut mengamati jendela orang lain. Membiarkan kamu, aku dan dia jadi sebuah cerita klasik.
Aku dan Dia
Masa pemulihan Ezra membutuhkan waktu lumayan lama. Sampai tidak terasa, musim di Salzburg sudah berganti dari musim dingin ke musim semi. Aku mencoba menelponnya lebih sering, biasanya di perjalanan dari kampus ke apartemen melewati danau Danube.
Teddy yang hampir setiap hari bersama Ezra, kadang bercerita tentang kondisi Ezra. Teddy bilang, semenjak kecelakaan Ezra berubah. Dia yang tidak lagi bisa latihan Softball karena kakinya masih dalam pemulihan, lebih menyibukan diri di kampus.
Sering Teddy bertanya, apakah aku yang menelpon Ezra. Dia bilang, “Rara, kamu menelpon Ez? Dia sedang mengerjakan tugas bareng aku. Kulihat dia beberapa kali mematikan bunyi panggilan masuk”. Aku membalas pesan Teddy, “Nggak kok. Aku menelpon dia biasanya jam 22:00 WIB ke atas.”
Hari ini tidak biasanya jam 3 pagi, aku dikejutkan oleh video call dari Ezra. Aku yang masih setengah tersadar, mencoba untuk mengerti kenapa dia menelpon dengan diawali tangisan.
Matanya yang sayu, kini tampak semakin sembab. Beberapa kali dia tampak mengusap air matanya. Untuk pertama kalinya dalam enam tahun hubungan kami, dia meminta maaf. Lebih aneh lagi, tidak hanya sekali kata maaf itu diucapkan, melainkan berkali-kali.
Aku bertanya, “Ada apa Ez?”. Setelah beberapa lama aku menunggunya sampai berhenti menangis, akhirnya dia berkata, “Aku harus melepaskanmu. Keluarga Ela memintaku bertanggung-jawab atas kecelakaan beberapa bulan lalu.”. Aku termenung, diam, mencoba memahami apa yang terjadi.
Ezra melanjutkan,”Aku bisa saja pergi, Beb, Pergi ke tempatmu misalnya, bagaimana?”. Aku masih diam, berpikir bahwa setelah sekian lama akhirnya dia memutuskan untuk menemuiku disini untuk lari dan bersembunyi.
Aku menjawab, “Lalu bagaimana dengan keluargamu? Kamu sudah siap dengan konsekuensinya? Bagaimana dengan impianmu punya kantor Arsitek sendiri?”.
Ezra yang kelihatan gundah, menjawab, “Aku berani ambil konsekuensinya. Aku hanya cinta kamu, Ra”
“Lalu bagaimana dengan dia, dia dan dia yang lain?” tanyaku.
Ezra menundukan wajahnya yang kesal dengan pertanyaanku, “Mereka yang salah paham. Aku hanya menganggap mereka sebagai teman. Tidak ada satupun yang aku pacari”.
Dalam hati aku berkata, “Ya, kamu benar Ez. Tidak ada yang kamu pacari. Setiap kali kamu menaklukan, kamu akan mencari perburuan yang lain”
Aku lanjut berkata,”Ok, kalau itu mau kamu, Ez. Kapan kamu terbang kesini? Aku akan tanya apakah tempat kerjaku masih mencari orang atau tidak”.
Ezra mengangkat wajahnya kebingungan. Wajahnya yang tampan dan berkesan innocent, jauh berbeda dari sifat aslinya.
“Apa maksud kamu dengan mencarikan aku pekerjaan?” tanyanya.
“Aku tidak punya banyak uang untuk menghidupi kita berdua disini, Ez. Aku tahu ini berat buatmu. Mau tidak mau kamu juga harus bekerja. Bisa dimulai misalnya jadi waiter seperti aku” kataku berusaha menjelaskan.
Lama Ezra termenung, kulihat jam di laptop sudah menunjukan hampir jam 4 pagi. Akhirnya dia berkata, “Maafkan aku, Beb. Pilihan memang sangat sulit, tapi aku harap kamu paham dengan keputusanku. Kita masih bisa jadi teman kan”.
Aku menunduk dan menangis. Ezra pun menangis. Kami berbeda negara, di jam yang berbeda, namun dengan suasana hati yang mungkin sama …
atau
mungkin juga berbeda.
Sekitar hampir pukul setengah 5, kami mengakhiri video call. Aku menyeka air mataku dan menyalakan musik di laptop, lagu favoritku “ It’s Beautiful Day” dari Michael Buble.
I don’t know why
You think that you could hold me
When you can’t get by by yourself
And I don’t know who
Would ever wanna tear the seam of someone’s dream
Baby, it’s fine, you said that we should just be friends
Well, I came up with that line and I’m sure
That it’s for the best
If you ever change your mind, don’t hold your breath
‘Cause you may not believe
That, baby, I’m relieved
When you said goodbye, my whole world shined
Hey hey hey
It’s a beautiful day and I can’t stop myself from smilin’
If we’re drinkin’, then I’m buyin’
And I know there’s no denyin’
It’s a beautiful day, the sun is up, the music’s playin’
And even if it started rainin’
You won’t hear this boy complainin’
‘Cause I’m glad that you’re the one who got away
It’s a beautiful day
…..
Sambil berjingkrak-jingkrak aku menuju kamar mandi, menggosok gigi sambil menari-nari. Pagi itu, aku merasa sebuah cahaya terang menerangi hidupku, aku terus menyanyikan lagu yang berulang kali diputar di bawah shower. Hari ini aku resmi jadi penyanyi kamar mandi.
Di perjalananku ke kampus pagi hari ini, aku mengamati danau Danube. Aku baru tersadar akan keindahannya. Mulai hari ini aku memutuskan tidak lagi menengok ke jendela orang lain, sampai lupa bagaimana kondisi di balik jendela rumah sendiri.
Aku terdiam sejenak mengamati danau. Kucari telepon di dalam tasku. Aku membuka aplikasi WhatsApp dan masuk ke baris pesan kedua, disitu tertulis nama Teddy Bunny. Aku pun menelponnya.
Tidak lama menunggu nada dering tersambung, di seberang sana terdengar suara yang akrab di telingaku, “Hi honey” sapanya.
Aku langsung menjawab dengan, “Kapan kamu mau melamarku?”.
Aku dan Teddy tertawa bahagia. Setelah lima tahun menunggu akhirnya Aku dan Dia bisa bersama.
TAMAT
PS: Yang mau tahu lagunya seperti apa, bisa memutar lagu di link YouTube di atas.
cerpen ldr; cerita ldr berakhir bahagia; cerita ldr kuliah; kamu aku dan dia;