The Empathy Gap, Mengapa Kita Sulit Memahami Orang Lain?
The Empathy Gap. Bayangkan kamu sedang duduk di kafetaria bersama kolega, menikmati makan siang sambil bercengkerama. Salah satu temanmu, sebut saja Andi, tiba-tiba berbicara tentang pengalaman tidak mengenakkan yang baru saja dialaminya. Dia ditegur keras oleh bosnya karena sebuah kesalahan kecil.
Kamu mendengarkan, namun di dalam hati mungkin berpikir,
“Ya ampun, cuman teguran gitu aja, kenapa harus diambil hati, sih?”
…
Apakah kamu Familiar dengan situasi seperti ini?
Tanpa kamu sadari, sebenarnya kamu telah jatuh ke dalam perangkap psikologis yang disebut The Empathy Gap atau kesenjangan empati.
Apa Itu Empathy Gap?
The Empathy Gap atau kesenjangan empati adalah fenomena psikologis di mana seseorang kesulitan memahami atau merasakan pengalaman emosional orang lain ketika mereka tidak berada dalam keadaan emosional yang sama.
Fenomena ini pertama kali diangkat oleh George Loewenstein dari Carnegie Mellon University. Menurutnya, saat kita berada dalam kondisi “dingin (cold)” atau netral, kita cenderung meremehkan intensitas emosi yang dirasakan orang lain yang sedang berada dalam kondisi “panas (hot)”—seperti marah, cemas, atau takut.
Contoh di Situasi Kerja
Kamu sebagai seorang project manager diminta untuk mempersiapkan presentasi penting untuk klien besar. Seminggu terakhir ini, kamu hampir tidak tidur, karena ingin semuanya sempurna.
Sementara itu, rekan kerjamu yang kita sebut saja namanya Joko, cenderung lebih santai dan merasa kamu terlalu berlebihan. Baginya, presentasi itu hanya tugas biasa dan baginya itu hanya kekhawatiran berlebihan.
Ketika terjadi gangguan kecil saat presentasi, kamu merasa cemas, sementara Joko menganggapnya remeh. Joko tidak menyadari bahwa bagi kamu, masalah kecil itu terasa seperti bencana, hasil dari kerja keras yang selama seminggu ini kamu rasakan.
Memahami Empathy Gap di Tempat Kerja
Seperti yang telah saya jelaskan di atas, Empathy Gap adalah fenomena di mana seseorang kesulitan memahami emosi dan perasaan orang lain ketika mereka tidak berada dalam kondisi emosional yang sama.
Dalam kasus kamu dan Joko, Joko berada dalam kondisi “dingin” atau netral; dia tidak merasakan tekanan atau kecemasan yang sama seperti yang kamu alami. Karena itulah, dia sulit memahami mengapa kamu begitu khawatir dan lelah.
Di tempat kerja, Empathy Gap sering kali muncul dalam berbagai bentuk.
Misalnya, seorang atasan yang tidak pernah bekerja lembur mungkin tidak bisa memahami mengapa karyawan merasa kelelahan setelah bekerja hingga larut malam. Atau, seorang rekan yang memiliki tingkat stres rendah mungkin meremehkan kecemasan yang dialami koleganya yang sedang menghadapi tenggat waktu yang ketat.
Mengapa Terjadi Empathy Gap?
Menurut Loewenstein, salah satu alasan utama terjadinya kesenjangan empati adalah karena keterbatasan kita dalam memproyeksikan diri ke dalam situasi emosional yang berbeda dari keadaan kita saat ini.
Saat kita tenang, kita cenderung tidak bisa sepenuhnya memahami bagaimana rasanya cemas atau marah. Akibatnya, kita sering gagal menunjukkan empati yang cukup terhadap orang lain yang sedang mengalami emosi yang kuat.
Fenomena ini juga berlaku sebaliknya. Saat kita sedang marah, misalnya, kita mungkin tidak bisa membayangkan mengapa orang lain bisa begitu tenang dalam situasi yang menurut kita memicu kemarahan. Emosi kita yang saat itu sangat kuat mengaburkan kemampuan kita untuk melihat dari perspektif yang lebih netral.
Bagaimana Mengatasi Empathy Gap?
Untuk mengurangi efek dari fenomena ini, kita perlu berusaha lebih keras dalam mencoba memahami pengalaman emosional orang lain. Salah satu caranya adalah dengan mengingat kembali situasi di mana kita pernah merasakan emosi yang sama, meskipun dalam konteks yang berbeda
Empati bukan hanya tentang mencoba memahami apa yang dirasakan orang lain, tapi juga tentang mengenali bahwa pengalaman mereka bisa sangat berbeda dari apa yang kita bayangkan.
Ketika berhadapan dengan seseorang yang sedang dalam kondisi emosional tertentu, cobalah untuk tidak menghakimi atau meremehkan perasaan mereka. Sebaliknya, tanyakan pada diri sendiri, “Bagaimana perasaanku jika aku berada di posisi mereka?” atau “Apa yang bisa aku lakukan untuk lebih memahami mereka?”
Begitu juga jika situasi ini terjadi di tempat kerja, penting bagi kita untuk berusaha lebih memahami perspektif dan perasaan orang lain.
Mengambil dari contoh situasi yang terjadi antara kamu dan Joko, jika Joko ingin menjadi rekan kerja yang lebih suportif, dia bisa mulai dengan menanyakan kepadamu bagaimana perasaaan kamu atau menawarkan bantuan sebelum presentasi dimulai. Dengan mencoba memahami tekanan yang kamu rasakan, Joko bisa menunjukkan empati yang lebih dalam.
Sebaliknya, kamu juga bisa menjelaskan kepada Joko tentang pentingnya presentasi tersebut dan mengapa kamu merasa perlu untuk mempersiapkan semuanya dengan sangat detail.
Dengan latihan, keterbukaan komunikasi dan kesadaran (mindfulness) , kita bisa mulai menjembatani kesenjangan empati ini dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih mendukung.
Lesson Learned
Empathy Gap mengingatkan kita bahwa sebagai manusia, kita sering kali terjebak dalam perspektif kita sendiri. Emosi dan pengalaman kita saat ini bisa menjadi penghalang yang membuat kita sulit untuk benar-benar memahami apa yang dirasakan.
Dengan menyadari jebakan psikologi (psychological trap) ini, kita bisa belajar untuk lebih peka dalam berempati, tidak hanya dalam berinteraksi dengan orang lain, tetapi juga dalam memahami kompleksitas emosi manusia yang begitu luas dan beragam.
Jadi, sebelum menilai perasaan orang lain, ada baiknya kita mengingat kalau mereka mungkin merasakan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan.
XOXO
Referensi
Salvatore Mangione. The Empathy Gap. American Journal of Medicine.
Alessia Buffagni. Bridging the empathy gap: exercising empathy as a method for assistive product design. ICERI.
Chiarra Bulgarelli. The typical and atypical development of empathy: How big is the gap from lab to field?. PubMedCentral