Di Ujung Pagi (아침 끝에서), Cerpen
Di Ujung Pagi. Korea menyambutku dengan embusan angin dingin yang membawa aroma daun maple yang mulai menguning. Setelah tujuh tahun, aku kembali lagi ke Korea tadi pagi dan kini berdiri di depan sebuah rumah kecil di tengah-tengah kota Seoul yang sibuk.
Aku memasuki rumah tua itu, rumah itu merupakan paduan antara modern dan tradisional Korea yang telah dibangun sudah berpuluh-puluh tahun tampaknya. Lantainya dari kayu, berderit pelan setiap kali langkahku menjejak. Udara dingin terasa sedikit menusuk, mengalir dari celah-celah dinding kayu yang telah menua. Pintu geser dari kertas tipis berbingkai kayu, hanji, bergetar lembut saat aku membukanya, mengeluarkan bunyi halus yang menambah keheningan ruangan.
Aroma kayu tua dan sedikit harum dupa yang tertinggal memenuhi udara, menghadirkan suasana tenang yang kontras dengan perasaanku yang entah kenapa gelisah. Di dalam ruangan kecil berukuran 4×4 meter itu, hanya ada sebuah meja pendek dan beberapa bantal duduk.
Di dalam, ada dua orang yang menunggu, namun perasaan ganjil di tengah suasana sepi mulai menyelinap ketika aku melangkahkan kaki masuk. Wajah yang pertama aku lihat adalah Han, yang dulu adalah pujaan hatiku semasa kuliah. Wajahnya masih sama seperti dulu, hanya lebih dewasa. Kami berbicara sebentar, mengenang masa-masa lalu yang penuh tawa.
Malam itu, Han datang ditemani dengan seorang pria yang dia perkenalkan sebagai koleganya. Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Hyun datang, salah satu teman kuliah kami yang pendiam dan jarang bicara kecuali jika memang perlu. Namun, hari ini dia berbeda. Begitu dia masuk, dia menggenggam tanganku erat dan mulai bercerita.
Hyun-ssi
Hyun berbicara tanpa henti menceritakan tentang kehidupannya sebagai seorang idol, tentang latihan keras, kelelahan yang seolah tak pernah usai, hingga mimpi-mimpinya yang mulai terwujud satu per satu. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar menyadari betapa terkenalnya dia sekarang.
Aku berpikir, mungkin itulah alasannya mengapa kami bertemu di rumah tua ini dan bukan di restoran. Anehnya, selama ini aku tidak pernah mendengar tentang Hyun atau kariernya yang melonjak. “Aku pasti terlalu sibuk bekerja sampai terputus dari dunia luar,” batinku. “Padahal, sebagai idol, dia pasti punya jadwal tur internasional, dan Indonesia adalah pasar besar untuk K-pop.”
Aku teringat saat kuliah dulu, aku, Han, dan beberapa teman lainnya sering menonton konser grup Kpop Idol bersama. Di antara kami, Han dan ada satu teman kami yang paling antusias melihat Hyun di panggung. Dan sekarang, di ruangan ini, aku melihat teman lama yang begitu berbeda namun tetap familiar, menceritakan kisahnya dengan mata berbinar-binar seperti belum pernah kutemui sebelumnya.
Tangan Hyun yang lembut menggenggam erat tanganku sepanjang percakapan kami. Ada momen ketika aku berpikir, “Apakah Hyun merindukanku selama ini? Dan mengapa tak ada kabar apapun darinya?” Ada perasaan aneh yang menggantung di udara, seolah ada sesuatu yang tak terucapkan di antara kami.
Kami berempat—aku, Hyun, Han, dan kolega Han —tertawa dan bercanda hingga larut malam, mengenang masa-masa kuliah yang penuh kenangan. Tapi di antara tawa itu, mataku menangkap sosok lain di sudut ruangan. Yoon-ah.
Teman kami yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Dia duduk di sana, dengan senyum tipis yang akrab namun mengganggu, seolah ingin mengatakan sesuatu yang penting.
Dan kemudian semuanya kembali jelas dalam pikiranku—Yoon-ah dan Han adalah pendukung terbesar Hyun, selalu ada di konsernya, selalu ada di sisinya. Mungkin itulah sebabnya aku tak pernah kembali ke Korea setelah pemakaman Yoon-ah. Rasa kehilangan yang begitu mendalam membuatku ingin menjauh. Tapi kini, di ruangan kecil ini, dia ada di sini.
Apakah ini hanya halusinasi karena lelah, atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi?
Yoon-ah
Hatiku bergetar.
Kenapa aku melihat Yoon-ah di sini?
Mungkinkah karena aku ada di Korea, dia ingin aku mengunjungi makamnya?
Aku teringat malam ketika kecelakaan itu terjadi. Yoon-ah datang ke apartemenku, mengajakku pergi menonton konser Hyun bersamanya. Aku menolaknya, dan dia hanya mengangguk dengan senyum yang tampak pahit. Aku sudah mengatakan padanya kalau aku ada janji bertemu dengan seorang teman dari Indonesia yang akan pulang esok hari. Kami berencana berfoto mengenakan pakaian tradisional Korea di sebuah studio foto. Mendengar alasanku, Yoon-ah hanya mengangguk pelan, masih dengan senyum yang sama—senyum yang kini terasa begitu asing.
Tak kusangka, malam itu adalah kali terakhir aku melihat Yoon-ah. Esok paginya, kabar kecelakaan itu menghantamku seperti badai, mengubah segala sesuatu dalam hidupku menjadi berbeda selamanya.
Di Ujung Pagi
Hari berikutnya, kami berjanji bertemu lagi di ruangan yang sama di rumah itu. Sebelum mencapai rumah yang terletak di jalan berbukit itu, aku melewati sebuah studio foto yang tampak familiar. Aku teringat, itulah studio foto tempat aku dan Flo, temanku dari Indonesia, berfoto sebelum peristiwa itu terjadi.
Ketika memasuki rumah yang letaknya tidak jauh dari studio foto itu, aku baru menyadari kalau rumah ini mirip dengan sebuah Airbnb. Bagian depan rumah yang menyerupai ruang tamu tampak seperti lobi, tetapi suasananya begitu sunyi, seolah tak berpenghuni. Rumah tua ini membawa nuansa nostalgia yang samar, sesuatu yang sepertinya pernah ada di ingatanku, namun terlupakan.
Saat membuka pintu geser menuju ruangan itu, sekali lagi, aku melihat Yoon-ah duduk di pojokan dengan tatapan sendu. Namun, kali ini aku merasa lebih tenang, tidak ada rasa takut seperti sebelumnya.
Hari ini, formasinya masih sama—aku, Han, Hyun, dan seorang kolega Han yang namanya tak kuingat. Bedanya, kami semua mengenakan pakaian tradisional Korea. Entah siapa yang mengusulkan ini kemarin.
Hyun, dengan semangat yang sama seperti kemarin, menggenggam tanganku erat, hangat seperti rasa rindu yang lama terpendam. Kami berbicara lebih banyak, bercerita tentang segala hal, tanpa menyadari bahwa cahaya pagi perlahan mulai merayap masuk ke ruangan.
Hyun kemudian meminta kolega Han untuk mengambil foto kami berdua. Aku dan Hyun berdiri berdampingan, mengenakan hanbok tradisional Korea, tangan kami masih saling berpegangan, tersenyum ke arah kamera.
Saat kamera mengklik, sinar matahari tiba-tiba menembus jendela kecil di ruangan itu. Cahaya itu membuat segalanya terasa nyata dan tidak nyata pada saat yang sama. Ada sesuatu yang terasa salah, seperti ada bagian dari ingatanku yang hilang. Tiba-tiba, aku melihat Hyun menatapku dengan air mata menggenang di matanya.
“Aku harap kamu bahagia di sana,” katanya pelan.
Saat itu juga, tubuhku mulai memudar. Aku melihat tangan dan kakiku berubah menjadi asap tipis yang terbawa angin. Kengerian menyapu diriku.
Sekarang, aku ingat semuanya.
Bukan Yoon-ah yang meninggal dalam kecelakaan itu—tapi aku.
Akulah yang meninggal dengan mengenakan hanbok, dalam perjalanan menuju konser Hyun yang sebelumnya kutolak dan rumah ini adalah penginapan yang ditempati Flo saat itu.
Aku tak pernah kembali ke Indonesia. Aku tak pernah benar-benar pulang. Dan di ruangan kecil di tengah Seoul itu, Hyun melepas kepergianku dengan segala kata yang tak pernah terucap, berusaha menyelamatkanku dari kesunyian yang abadi.
FIN
Fun Fact
Cerita pendek yang aku beri judul “Di Ujung Hari” ini beneran terinspirasi dari mimpi semalam yang super aneh!
Serius, 80% dari cerita ini persis seperti yang terjadi dalam mimpiku. Di dunia nyata, sosok Yoon-ah dalam cerita ini sebenarnya adalah tanteku yang sudah meninggal dalam kecelakaan.
Lalu, bagian yang paling absurd?
Di ujung mimpi, aku tiba-tiba berubah jadi asap! Padahal aku sudah bahagia banget berpikir bisa photo ama Idol dan teriak “Yoongi, Marry Me!” … eh
Satu-satunya hal yang bisa kupikirkan saat itu adalah, “Eh, apa-apaan ini?”
Aku bahkan sempat berteriak dalam mimpi, “Kenapa aku jadi hantu penasaran?!”
Sungguh plot twist yang nggak pernah kuduga!
Jadi, aku penasaran, apakah kalian pernah mengalami mimpi absurd yang masih kalian ingat sampai sekarang?
Coba deh share cerita kalian di kolom komentar! Kalau ada yang menarik, siapa tahu bisa aku jadikan cerpen juga. Let me know!
xoxo