Seni Mendengarkan di Tempat Kerja, Lebih dari Sekadar Telinga Terbuka
Seni Mendengarkan. Pernah nggak sih, kamu merasa ada momen dimana kamu cuma pengen didengar?
Tapi bukannya didengar, kamu malah diberi serangkaian wejangan atau tanggapan yang sama sekali nggak nyambung?
Atau, pernah nggak kamu merasa jadi orang yang berbicara, sementara lawan bicara kelihatan lebih sibuk mikirin jawabannya daripada benar-benar mendengarkan? Ya setipe dengan malaweung gitu kalau bahasa sundanya mah.
Aku pernah. Dan itu kejadiannya bukan cuman sekali – dua kali.
Seperti yang terjadi di hari itu.
Seni Mendengarkan, Solusi Debat Kusir
Hari itu, aku sedang duduk di ruang meeting bersama timku, membahas proyek yang agak rumit. Suasana mulai panas karena da perbedaan pendapat di sana sini. Aku sudah mulai frustasi karena semua orang tampak lebih sibuk mempertahankan argumennya daripada benar-benar mendengarkan apa yang dikatakan orang lain.
Aku pun memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru, praktik yang selama ini sering aku dengar dan baca tapi jarang aku terapkan dengan sungguh-sungguh, yaitu seni mendengarkan atau art of listening.
“Guys, gimana kalau kita coba dengar dulu semua pendapat, baru kita coba cari solusi bareng-bareng?” aku menyela dengan hati-hati. Suasana di ruang meeting menjadi hening sejenak.
Awalnya, ada yang ragu, tapi akhirnya, satu per satu mulai bicara. Kali ini, aku benar-benar berusaha mendengarkan tanpa buru-buru memikirkan argumen balasan.
Aku mencoba mendengarkan dengan mindful, sabar, dan terlibar penuh dalam percakapan. Ternyata, mendengarkan secara aktif itu lebih menantang daripada yang aku bayangkan.
“Jadi, intinya kamu merasa pendekatan kita kurang efektif, ya?” tanyaku sambil menatap rekan kerja yang baru saja mengutarakan pendapatnya dengan penuh perhatian.
“Iya, karena aku melihat ada potensi risiko yang belum kita pertimbangkan,” jawabnya dengan nada yang lebih tenang, mungkin karena merasa didengar.
Memahami Perspektif Lawan Bicara
Di titik itulah aku baru sadar kalau mendengarkan itu bukan sekadar tentang mendengar kata-kata, tapi juga tentang memahami perspektif lawan bicara. Karena terkadang kita salah menginterpretasikan pesan yang disampaikan lawan bicara, karena ada kecenderungan kita untuk mendengar apa yang ingin kita dengar. Kutipan dari kursus LinkedIn Learning yang pernah aku aku ambil tiba-tiba terlintas di benakku.
Ternyata memang benar, kalau kita ingin mengubah pandangan seseorang, terutama yang tidak sepakat dengan kita, mereka harus merasa didengar terlebih dahulu.
Seni mendengarkan atau art of listening merujuk pada mendengarkan aktif. Dimana dalam proses mendengarkan aktif melibatkan kehadiran kita dalam pembicaraan itu, kesabaran, dan kita juga harus terlibat dalam percakapan. Ini juga berarti kita perlu bertanya untuk benar-benar memahami sudut pandang orang lain.
“Wah, ternyata kalau kita mau mendengar satu sama lain, solusinya bisa lebih cepat ditemukan, ya,” salah satu kolegaku berkomentar sambil tertawa kecil setelah diskusi kami berakhir dengan kesepakatan bersama.
Sejak saat itu, aku mulai lebih menghargai seni mendengarkan di tempat kerja. Bahkan, aku mulai mengadopsi praktik ini dalam setiap interaksi. Nggak cuma saat meeting, tapi juga berbicara dengan tim, atasan, atau bahkan saat mengobrol santai.
Seni mendengarkan bukan soal jadi pendengar yang pasif, tapi justru mendorong kita buat menjadi lebih aktif dan terlibat.
Rekomendasi Buku
Kalau kamu tertarik untuk mendalami seni mendengarkan, ada beberapa rekomendasi yang mungkin bisa membantu.
Yang pertama adalah “The 7 Habits of Highly Effective People” oleh Stephen Covey. Meskipun bukan buku khusus tentang seni mendengarkan, namun buku ini punya satu bab yang membahas tentang pentingnya mendengarkan secara empati (emphatetic listening).
Buku yang kedua adalah “The Lost Art of Listening” karya Michael P.Nichols. Buku ini menggali lebih dalam tentang betapa pentingnya mendengarkan dalam membangun hubungan yang lebih baik, baik itu di lingkungan pekerjaan maupun kehidupan pribadi.
“Dengar dulu, baru bicara,” adalah mantra baru yang aku coba terapkan.
Aku yakin, di dunia yang semakin bising ini, kadang kita (terutama aku) lupa kalau diam sejenak dan mendengarkan bisa menjadi cara paling efektif untuk menyelesaikan masalah.
Jadi, kalau kamu merasa komunikasi di tempat kerjamu sering buntu, cobalah untuk mendengarkan lebih baik. Siapa tahu, kamu akan menemukan bahwa solusi terbaik muncul justru saat kamu memberi ruang bagi orang lain untuk benar-benar berbicara.
XOXO
Referensi
LinkedIn Learning, Address Employee Needs, Prof. Daisy Lovelace