Catatan Puisi di Buku Harian Lama
Puisi dan Cerpen

Catatan Puisi di Buku Harian Lama

Catatan di Buku Harian Lama

Harta karun buatku adalah menemukan catatan puisi di buku harian digital yang aku sendiri sudah lupa. 

Ada yang lugas.

Ada juga yang abstrak.

Keduanya walau harus merenung sejenak tapi selalu membawaku ke perasaan lama, apapun itu bentuknya

catatan puisi di buku harian digital lama

The Same Old Story

“Aku putus” tulisnya. Dia itu kurang ajar, uangku habis cuman buat membiayai dia dan sekolahnya. Mana dia itu temperamen sekali dan bahkan ke binatang peliharaan yang aku titipkan saja kasar.”

Kalimat ini hanya pembuka saja. Selanjutnya masih ada beberapa belas baris text yang jika digabungkan bisa jadi satu blogpost. 

Aku hanya memandangi pesannya dan tidak tahu bagaimana lagi membalasnya. 

Setelah kurang lebih pertemanan berusia 10 tahun, kita mulai mengetahui pola pemikiran teman yang tertuang dalam pembicaraan.

Jariku hendak memijit tanda call di kontak tapi kemudian pesan berikutnya dari dia masuk kembali.

Aku sedang di kereta otw pulang ke X (kota tempat tinggalnya) bersama Pastor Z. Dia pacarku yang baru. Dia baik dan supportif, tidak seperti AH yang pola pikirnya masih kekanakan.”

Aku mengurungkan niat menelponnya, dan juga tidak ada keinginan untuk membalas “blogpost” nya. Aku mematikan handphone lalu memejamkan mata.

 

Sweet at the Beginning

“Jeng, AH itu baik banget. Dia itu pintar, anak kedokteran dan sedang mengambil spesialis di U*M. Sabar banget menghadapi aku yang nggak sabaran dan OCD. Belum lagi dia itu jago banget masak. Pokoknya kamu mesti ketemu dia, TOP deh pokoknya”

Aku menscroll chat jauhhhhhhh sekali ke atas sampai pada pembicaraan kami sekitar tiga tahun yang lalu. 

Di sela chat, dia tidak lupa menyisipkan cerita kalau dia sangat bersyukur memiliki AH.

Sebelum AH, masih ada sederetan pria lainnya. AY, AX, AM dan entah siapa lagi

Mereka semua mempunyai pola yang sama yaitu berawal dengan sangat manis  dan berakhir tragis seperti orang yang sudah tidak ada harga dirinya lagi. 

Jika kamu benar-benar menyimak ceritanya, kamu akan menemukan fakta bahwa selalu ada pria baru sebelum dia “mencincang habis” mantannya.

 

Like a Bug .. Maybe Bedbug?

“Aku pindah kerja, jeng. Duh aku nggak kuat banget di sana. Tuntutan si big bos amit amit deh. Belum lagi tunjangannya kecil banget, padahal aku mesti ke client visit hampir setiap hari. Mesti mengerjakan di cafe yang notabene perlu extra dana. Belum lagi teman-teman aku tuh ya party terosss. Kalau aku nggak ikut, besok morning briefing pasti akan diexclude sama mereka.”

Yang dia bicarakan ini adalah tempat kerja keempat di tahun 2022. Jika kamu ingin melayani “kebutuhannya untuk meluapkan cerita”, kamu akan menemukan bahwa dia baru saja ditawarin di perusahaan lain.

Seperti juga cerita hubungan asmaranya, dia sulit bertahan di satu tempat kerja. Ada saja yang membuat dia keluar dengan seribu alasan untuk menjustifikasi keputusannya. Walaupun di awal kerja, hanya kata kata pujian dan kekaguman yang keluar dari mulutnya.

Pada akhirnya apapun saran yang aku lontarkan tetap tidak akan mengubah pemikiran dia. 

Bahkan beberapa jam di telepon, berusaha untuk membuat dia “lebih dewasa” atau setidaknya sesuai dengan umurnya yang jauh lebih tua dari aku.

Harapan agar kali ini dia berubah dan mau mendengarkan adalah seperti membuang air ke lautan. Suatu tindakan naiv yang aku lakukan untuk sesuatu yang di luar kendali aku.

The World Revolves Around You

“Kamu tahu nggak? Pak AG memuji performa kinerja aku di rapat regional. Padahal kamu tahu sendiri, dia itu sulit sekali memberikan pujian apalagi secara publik.” dengan nada riang dia mengungkapkan ini di percakapan telepon siang itu.

Makanya aku tuh sedang hectic banget. Apalagi sales aku resign dan butuh penggantinya segera.” tambahnya.

Aku kemudian ingat kalau di kuliah aku sekarang perlu yang namanya buat internship. Masih jauh banget sih ke tahap itu tapi aku akhirnya bertanya, 

Eh kira-kira bisa gak buat internship di tempatmu. Aku ada program internship sih di kampus. Masih lama sih tapi siapa tahu bisa buat adikku juga yang sama lagi kuliah. She’s just turning 18″

Dengan cepat dia menjawab, “Kamu tuh kuliah melulu aja. Kapan pinternya sih? Bodoh banget ya sampai harus belajar melulu”

Sebelum aku sempat menjawab, dia berkata, “Mendingan adik kamu kuliah aja dulu. Lagian kerjaan di bagian sales itu mesti stand by bla bla bla.”

Well, yang kita bicarakan ini internship atau mungkin dunia kerja di Indonesia sudah berubah semenjak aku tidak tinggal lagi di sana.

Anehnya, seminggu kemudian, aku menanyakan lowongan yang sama dan mengatakan kalau teman kuliah aku ada yang perlu. Dengan senang hati, dia meminta teman kuliahku untuk mengirimkan e-mail lamaran.

Lalu apa bedanya antara aku, adikku dan teman kuliah? Semuanya sama-sama berstatus anak kuliah.

Catatan Puisi di Buku Harian Lama

Run, Baby, Run

 

Aku tidak ingat saat yang terpenting buatmu

karena aku tidak ingat apapun saat bersamamu

Aku berharap kamu mengerti

– END –

 

This is the END

“I was wondering if you could help me gather some data” dengan penuh pertimbangan aku melayangkan pesan kepadanya. 

Aku sendiri tidak punya banyak pilihan dan kalau tidak urgent banget, biasanya aku jarang sekali meminta pertolongan.

Tidak sampai satu menit, dia langsung menelpon dan tanpa bertanya lebih lanjut tentang kepentingan apa dan berapa banyak data yang harus aku kumpulkan. Dia bercerita bahwa dia baru akan mulai bekerja di tempat yang baru di bulan depan dimana kali ini tuntutannya lebih tinggi dan bla bla bla. 

Dia menyarankan aku mencari di grup hotel lain. Ketika aku menanyakan apakah dia mempunyai kontak yang bisa aku approaching. Dengan cepat dia menjawab, “Tidak tahu.”

Jika kamu tidak mengenalnya dengan baik, kamu bisa saja langsung percaya tapi dengan track record berganti grup bisa empat kali dalam setahun, apakah kamu pikir aku akan percaya begitu saja?

Pembicaraan di telepon kali ini tidak sampai lima menit, aku dengan cepat mengakhiri percakapan.

Good doesn't mean Nice

Di dalam sepuluh tahun pertemanan, aku selalu meluangkan waktu dengan cuma-cuma untuknya. Terlepas dari narsistik, dia adalah orang yang baik. Tetapi kebutuhan untuk semua mata memandangnya dan haus akan pujian mendorongnya untuk bersikap nice terutama kepada orang asing. 

Sebaliknya, aku tidak bersikap nice kepada semua orang apalagi kepada orang asing. Aku menghargai keberadaan orang yang berada di dekat aku. Walaupun kadang omongan aku tajam, tapi aku berusaha sebisa mungkin menjadi support system yang baik. 

Untuk menghargai diri aku sendiri, maka aku memutuskan untuk menghapus kontaknya. 

Aku tidak layak diperlakukan seperti ini.

Aku tetap berusaha menjadi orang yang baik terutama baik bagi diri sendiri. Karena hey, siapa lagi kalau bukan kita.

Berbicara value yang kita punyai dalam hidup, tampaknya aku harus menambahkan satu value baru yaitu no room for narcissism.

Seperti isi catatan puisi aku, narsistik hanya ingin dimengerti tanpa mereka merasa ada kewajiban untuk mengerti. Kemungkinan dia mengingat hal tentangmu sangat kecil karena dia bersamamu jika kamu mendatangkan manfaat untuknya.

Tanpa rasa penyesalan, aku mengucapkan kata-kata selamat tinggal dan sungguh tak ingin ada perjumpaan di masa depan. 

XOXO

Referensi

Czarna, A. Z., Leifeld, P., Śmieja, M., Dufner, M., & Salovey, P. (2016). Do narcissism and emotional intelligence win us friends? Modeling dynamics of peer popularity using inferential network analysis. Personality and Social Psychology Bulletin42(11), 1588-1599.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *