seorang astronot
Hidup di Jerman

Seorang Astronot yang Datang di Musim Dingin

seorang astronot

Aku pikir aku akan mati sampai seorang Astronot datang pada suatu pagi di musim dingin.

….

Sore itu rasanya tenggorokan kering dan tercekat. Aku berpikir mungkin gejala flu muncul lagi atau karena kebiasaan mengonsumsi makanan kering akhir-akhir ini.

Sudah dua minggu, aku mengenakan masker di tempat kerja karena batuk yang tidak kunjung reda. Sebelumnya sempat bed rest sehari tapi sesudah itu membaik. Mungkin sudah saatnya menjadwalkan vaksin flu mengingat kondisi kesehatan selalu menurun saat menghadapi musim dingin

Kali ini aku berharap besok membaik apalagi setelah membaca sms dari bos yang berkata kalau mungkin dia besok butuh aku untuk masuk kerja karena kolega sakit.

Namun, hari berikutnya aku bahkan tidak sanggup untuk duduk di belakang meja belajar. Terpaksa aku memindahkan peralatan perang seperti laptop dan buku ke ruang tidur karena sekarang belum masuk masa liburan sehingga masih ada kelas yang harus diikuti.

Walau begitu di Selasa pagi itu aku berjanji pada diriku untuk tidur setelah diskusi dan kelas hari ini karena melihat termometer berwarna putih dengan strip berwarna oranye menunjukan suhu badanku 38.5 derajat. Aku menggantungkan harapan pada ibuprofen agar demam lekas turun. 

Sepanjang diskusi, kepalaku seperti ditusuk-tusuk. Kalau tidak penting rasanya ingin undur diri saja dari sesinya. Saat diskusi, telepon berbunyi dan ketika melihat layar, aku baru tersadar kalau belum membalas sms si bos kemarin. Sesuai dugaan,  nada suaranya terdengar meninggi dengan tempo cepat ketika menanyakan alasan mengapa aku mengindahkan pesannya.

Aku berkata bahwa sejak kemarin aku tidak enak badan dan mulai demam pagi ini tapi aku usahakan untuk masuk. Awalnya dia terdengar sedikit mengomel namun lalu berkata dia akan menelponku lagi. Tidak lama setelah telpon ditutup, aku mendapatkan message kalau aku tidak usah masuk kerja dan cukup beristirahat saja.

Siang itu, aku bahkan tidak sanggup untuk masuk kelas dan membungkus tubuh dengan selimut di tempat tidur. Aku tertidur setelah kembali menelan ibuprofen dan terbangun karena merasa kedinginan. 

Kulihat jam menunjukan jam 2 pagi. 

Dengan terhuyung-huyung aku memeriksa apakah suhu pemanas ruangan lebih rendah dari biasanya. Angka digital yang tertempel menunjukan itu suhu yang biasa. 

Aku lalu mengecek suhu tubuh yang kini sudah naik menjadi 39.1 derajat. Aku tidak bisa tidur kembali karena menggigil kedinginan seperti berada di luar rumah saat winter ini tanpa mengenakan mantel. 

Paginya aku menelpon dokter untuk meminta Termin atau appointment. Namun resepsionis dokter berkata setelah aku mengatakan kalau aku demam tinggi kalau jadwal hari ini penuh karena hari terakhir mereka bekerja sebelum seluruh praxis libur seminggu.

Apakah kamu membutuhkan surat dokter?” tanya suara perempuan di seberang.

Aku mengiyakan tapi aku mengatakan, Apakah aku bisa meminta antibiotik?

Dia menjawab, “Kalau untuk itu kamu harus diperiksa dahulu oleh dokter tapi hari ini kami penuh dengan pasien.”

Dengan lemas aku menanyakan apakah keluarga bisa mengambil surat dokternya karena aku tidak bisa bangun. Dia menjawab boleh saja asalkan membawa kartu asuransi.

Hari itu demam tidak kunjung turun, begitu pula hari-hari berikutnya. Tidak perduli apakah aku meminum obat penurun panas atau tidak, suhu tubuh bertahan sepanjang waktu di 38 – 39 derajat.  

Senin dini hari, aku tersadar setelah merasakan dingin menyentuh kulitku. Kepala rasanya sakit sekali tapi aku tak kuasa membuka mata. Makin lama dingin semakin terasa dan tidak membuat nyaman. 

Aku menggapai gapai selimut, namun aku malah menyentuh benda seperti porselain. Setelah beberapa saat, aku baru menyadari kalau benda itu adalah toilet dan dingin yang aku rasakan adalah dari lantai kamar mandi. Aku tidak ingat kenapa aku bisa di sini.

Dengan segenap tenaga, aku merangkak dari kamar mandi ke tempat tidur. Kepala bagian belakang rasanya sakit sekali dan walau sulit memejamkan mata kembali dengan kondisi seperti ini namun akhirnya aku tertidur kembali. 

Kedatangan Seorang Astronot

Saat bangun di hari Senin pagi itu, aku baru menyadari kalau aku semalam terjatuh di kamar mandi dan ketika aku meraba bagian belakang kepala, ada bercak noda merah di telapak tangan. 

Aku berusaha membuat Termin lagi di dokter pengganti. Namun, Frau resepsionis tidak bisa menyediakan waktu karena pada prinsipnya mereka tidak bisa membiarkan pasien dengan demam tinggi berada di ruang tunggu. Antibiotik juga tidak perlu katanya kalau hanya demam biasa. Cukup minum obat penurun panas dan obat batuk karena batuk yang tidak kunjung reda.

Hari itu aku baru mengabari adik dan Ibu soal kepala yang terbentur di kamar mandi dan demam yang masih belum turun. Telepon yang berdering sesudahnya tidak aku angkat. Begitu pula di hari-hari berikutnya.

Pintu kamar diketuk oleh seseorang di hari Kamis pagi. Di luar salju turun cukup deras dan menutupi hampir seluruh permukaan tanah. Aku pikir Wee yang mengetuk pintu namun aku terperanjat ketika seseorang yang aku kenali mengenakan kostum Astronot masuk dan menghampiri tempat tidur. Sedikit menyesal dalam hati kenapa hari ini tidak memaksakan mandi.

“Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanyaku. Kedengarannya memang bukan kata-kata yang tepat untuk dilontarkan sebagai bentuk ekspresi kaget.  

Itulah kenapa kamu harus mengangkat telepon kalau ada yang menelpon” jawabnya sambil tertawa. Dia lalu meletakan tangannya di kening dan dengan lembut mengecek kepala bagian belakang. 

Mual?” dia bertanya. Aku mengangguk mengiyakan.

Aku mau makan enak hari ini, kamu mau menemani?” tanyanya lagi. Dia membuka smartphonenya dan tampak membuka aplikasi Lieferando. 

Gimana dengan makanan India?atau Jepang? Mana yang paling kamu suka? Hmmm karena kamu sudah lama tidak pulang ke Indonesia, gimana kalau India saja ya?” pertanyaan yang lebih berbentuk monolog menurutku.

Ok, aku order spicy Chicken Vindaloo, Duck Vindaloo dan Bombay Grill Platter. Kira-kira sampai sejam an lagi.” katanya sambil tersenyum dengan mata yang berbinar. Dia pasti sedang lapar dan membayangkan makanan ini. 

Ada apa dengan Astronot?” tanyaku

Dia menunduk melihat kostum yang dikenakannya dan kemudian tertawa. 

Waktu Ibu memberitahu soal kondisimu, aku panik dan tidak sempat memikirkan musim apa sekarang di Jerman. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan cuaca yang hampir sama sepanjang tahun di Indonesia.” 

Dia membuka resleting kostumnya sambil melanjutkan cerita, “Aku memakai baju berlapis untuk menghangatkan badan dan karena aku akan tinggal di Jerman sampai Karnaval, aku meminta supir taxi untuk mampir sebentar ke toko kostum dan lihat apa yang aku temukan.

Sebelum aku sempat bertanya dimana dia akan tinggal, dia menjelaskan, “Wee mengijinkan untuk aku tinggal disini sampai kamu membaik. Lalu setelah itu aku akan pulang ke rumah sampai jadwal kepulangan. Walau begitu aku akan datang kesini jika kamu mau.”

Buatku, Kamis pagi itu adalah hari yang paling berwarna. Tidak hanya di bulan Desember tapi juga dari 346 hari yang sudah dilewati di tahun 2022.

Hari-hari bersama Astronot

Aku tidak bisa mengingat momen apa yang tidak aku sukai semenjak kedatangannya. Yang ada hanyalah perasaan hangat di dalam dada, saat mengetahui sahabat yang selalu menjadi rumah menemani hari-hari dingin dalam hidup. Setidaknya untuk beberapa saat dan bercerita tentang apa saja.

Seperti saat melihat firework di malam tahun baru, aku berkata, “Kamu tahu apa yang terpikir olehku saat sakit kemarin?”

“Bagaimana jika kamu meninggal?” jawabnya sambil tetap melihat loncatan firework yang jumlahnya semakin banyak di kejauhan. 

“Ya dan lebih tepatnya terpikir tentang Beerdigungsversicherung (asuransi pemakaman) supaya tidak memberatkan keluarga.” kataku. 

“Itu juga tidak salah kalau kamu memang akhirnya memutuskan akan tinggal disini sampai akhir hayat. Kamu mengerti kan?.” “Sebaiknya sekarang tanyakan dulu pikiran dan hatimu, apa yang membuatmu bahagia? dan apa yang ingin kamu raih?”

Jika aku melihat hidupku dari atas, dari kacamata seorang sutradara. Aku hanya melihat kegagalan demi kegagalan. Aku merasa tidak berjuang keras walau hidup sudah di ujung tanduk.” jawabku.

“Aku tidak percaya itu. Aku tahu kamu mungkin lebih baik dari kamu mengenal dirimu sendiri. Kamu tahu apa yang kamu lakukan karena kamu sudah punya mental image di pikiranmu. Terkadang buatku, hal itu abstrak karena cara pikir kita yang berbeda. Pada akhirnya kamu akan bisa meraih apa yang kamu inginkan. Mungkin tidak 100% bahkan tidak 80% sama persis” sahutnya.

Aku menarik nafas sambil merenungkan perkataannya.

“Tahun baru buatku sama seperti perayaan hari ulang tahun yaitu hari dimana realita mengingatkan bahwa hidup kita berkurang. Walau pada kenyataannya setiap hari adalah pengurangan. Lalu kemudian aku merenung apa yang sebaiknya dilakukan agar meminimalisasi penyesalan atas waktu yang telah terlewati. Karena biasanya itulah yang terjadi”

Astronot menoleh dan berkata, 

 

Kamu tahu kan penyesalan tanpa melakukan sesuatu itu counterproductiveJika kamu merasa tidak berjuang keras, mungkin ada yang harus diperbaiki seperti misalnya realistis dalam mengukur kemampuan diri agar tidak burn out ketika berusaha menjadi disiplin.” dia kemudian menambahkan “Kalau kamu baca kembali Atomic Habits, kamu pasti ingat bahwa lakukan itu sedikit demi sedikit dan mulai dari satu-dua hal yang ingin kamu ubah.”

“Terkadang yang sulit adalah membuat sesuatu tetap menarik seperti saat awal mengerjakan. Apalagi untuk aku yang mempunyai banyak interests tanpa mengukur waktu dan tanpa mengingat prioritas yang ada sekarang ini. Namun kemudian menjadi membuat frustasi ketika pada akhirnya aku tidak baik dan menjadi master dalam hal apapun.” aku berusaha mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiranku.

“Terlebih ketika mengingat aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk banyak hal yang tidak bisa menghidupiku. Bukankah sesuatu yang tidak memberi penghidupan sama dengan tidak memberikan kebebasan?.” air mataku menetes saat mengucapkan kalimat ini.

Kami sama-sama terdiam dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Sebelum kami berpamitan tidur, Astronot berkata,

Ketidakpastian itu absolut seperti esok hari, termasuk kematian. Namun, yang pasti yang bisa kita jalani adalah meneruskan hidup yang kita jalani sekarang. Menyelesaikan apa yang kita mulai, memperbaiki yang salah dan menutup lembaran lama jika perlu. Jalani sedikit demi sedikit walaupun tidak mudah. Nanti langkah itu akan membawa ke tempat yang berbeda dari kita sekarang ini.”

Esoknya dia berpamitan pulang ke rumahnya dan berjanji untuk mengunjungi lagi sebelum pulang ke Indonesia.

Jika aku mengingat kembali kehadiran Astronot kemarin, aku mulai mempertanyakan harga hal-hal yang ingin dicapai. Bersamanya membuatku tersadar bahwa menghabiskan waktu bersama dengan orang yang kita cintai adalah sangat berharga dan langkah yang setiap hari diambil harusnya semakin mendekatkan pada yang berharga dan bukan menjauhkan.

Bagaimana menurutmu?

 

xoxo

 

You cannot copy content of this page