Ketinggalan Ransel di FlixBus Jerman
Jurnal

Ketinggalan Ransel di FlixBus Jerman – Terima Kasih untuk Orang-Orang Baik di Hari Itu

Kindness Quote

Ketinggalan ransel di FlixBus, Jerman. Hari itu, tanggal 3 Mei 2024, aku merasa segalanya sudah cukup berat. 

Kondisi tubuh yang sedang tidak fit, bawaan yang banyak, dan status sebagai solo traveler membuat perjalananku menuju Frankfurt Airport terasa seperti misi yang mustahil.

 

Aku menaiki FlixBus dengan tujuan Wuppertal Oberbarmen – Budapest, Hungaria, namun aku hanya perlu turun di Frankfurt Airport. Rasanya semua barang penting yang kubawa terasa semakin berat dengan setiap langkah yang kutempuh.

Di dalam ranselku ada semua yang penting seperti laptop, iPad, HP nomor Indonesia, kamera, kabel dan power bank, dompet berisi kartu ATM dan uang rupiah, kunci rumah serta yang tidak kalah krusial, akta kelahiran seorang teman yang harus segera dikirim ke penerjemah di Indonesia karena ia akan menikah di bulan Juli ini. Singkat cerita, itu adalah hari yang penuh dengan tanggung jawab.

Bahkan saat aku menuliskan blogpost ini, masih terasa berat dan seperti trauma rasanya.

Ketika Menyadari Kalau Aku Ketinggalan Ransel

Saat bus mendekati Frankfurt Airport, aku merasa sedikit lega. Aku datang 6 jam sebelum jadwal penerbangan, yang artinya aku bisa shalat dan makan dulu. 

Namun, perasaan lega itu segera berubah menjadi mimpi buruk ketika tiba-tiba ada notifikasi di jam tanganku, “Minions ketinggalan. Device ini tidak terdeteksi dekat kamu. Terakhir terlihat di dekat bandara Frankfurt,” begitu pesanny. Dadaku langsung berdebar. Aku baru saja turun dari FlixBus dan berada di bus menuju Terminal 1, FlixBus sudah pergi dan baru menyadari kalau ranselku, beserta semua isinya, tertinggal di dalam bus yang sedang menuju Budapest!

 

Ketinggalan Ransel di FlixBus Jerman - Terima Kasih untuk Orang-Orang Baik di Hari Itu | Jurnal | ketinggalan ransel | RenovRainbow

Tanpa berpikir panjang, aku langsung menghubungi customer service FlixBus. Dengan suara gemetar, aku menjelaskan situasinya dan bertanya di mana pemberhentian bus selanjutnya.

Heidelberg,” jawab operatornya, dan dengan dingin menambahkan, “Kami tidak bisa menghubungi sopir,” ketika aku bertanya apakah sopir bisa menurunkan ransel aku di pemberhentian Heidelberg seandainya ada kantor transit di sana. Operator wanita itu juga menjawab kalau kira-kira Bus akan sampai pukul 15:15, yang artinya 45 menit dari saat aku menelpon.

Aku hampir tidak bisa bernafas. “Bagaimana bisa tidak ada cara untuk menghubungi sopir? Di dalam ransel itu ada segalanya!” pikirku, setengah histeris.

Namun, berdebat dengan operator tidak akan membantu. Jadi, aku segera mencari cara lain. Dalam kepanikan, aku menulis pesan di Telegram Group Roommates Haji, menanyakan berapa lama perjalanan yang aku tempuh untuk mencapai stasiun bus di Heidelberg.

chat ke group roommates

Alhamdulillah, Raisa yang tinggal di Heidelberg segera merespons kalau dia bisa susulin kalau waktunya keburu. Sebuah kelegaan seketika mengalir dalam diriku, tapi itu tidak bertahan lama. Aku harus mengejar ranselku sebelum terlambat.

 

Mengejar Ransel

Sambil menelpon suami dan berusaha menenangkan diri karena aku sudah setengah menangis, aku bergegas mencari taksi. Namun, menemukan taksi di area itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Setelah beberapa saat, akhirnya aku melihat sebuah taksi di perempatan karena lampu merah. Dengan cepat, aku melambaikan tangan, bertanya apakah taksinya kosong, dan melompat masuk,

Di dalam taksi, setelah aku berkata stasiun bus Heidelberg sebagai tujuan, aku mulai curhat ke sopir taksi tentang situasiku. “Tolong pak, kita harus cepat. Semua barang penting saya ada di dalam tas itu. Sekarang teman saya yang di Heidelberg juga sedang menuju ke sana. Kira-kira berapa lama perjalanan untuk sampai ke sana?”

Sopir taksi itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan berusaha menenangkan diriku. Dia juga menjawab kalau kita akan sampai di Heidelberg kurang lebih satu jam an. 

Namun, realitas yang menamparku ketika Ine, teman yang menelpon menanyakan, “Oh, yakin ren mau ke Heidelberg dengan taksi?” Saat itu aku baru sadar kalau tarif argo taksi di Jerman itu mahal banget.

Setelah melihat argo yang baru berjalan 10 menit sudah menunjukan angka hampir 60 euro, akhirnya, aku meminta si sopir yang kira-kira berusia 30 tahun an itu untuk menurunkanku di stasiun kereta terdekat, yaitu Darmstadt. Sopir taksi tampak mengerti, dia bahkan mengatakan, “Terlalu mahal untuk ke Heidelberg menggunakan taksi.”

Sambil mencari jalan keluar Autobahn, si sopir tiba-tiba mematikan argonya saat kami masuk dari jalan tol ke kota Darmstadt, padahal jaraknya masih beberapa kilometer lagi. Aku sampai mau menangis saking terharunya. 

Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih dan semoga digantikan dengan yang lebih lagi” kataku dengan suara bergetar.

Sopir itu tersenyum dan hanya berkata, “Tidak apa-apa. Semoga kamu mendapatkan kembali tasnya.”

Akhir Nasib Si Ransel

Qodarullah, dengan seijin Allah, Raisa sampai lebih dulu di Stasiun Bus Heidelberg. Dengan berbekal form Lost and Found yang pengisiannya dibantu suami karena baterai hp aku sudah sekarat, akhirnya dia bisa mengambil ransel yang masih tersimpan di compartment di atas kursi aku duduk sebelumnya.

Akhir nasib si ransel yang ketinggalan

Aku tidak jadi melanjutkan ke Heidelberg dari Darmstadt karena pasti akan ketinggalan pesawat. Untungnya paspor dan lainnya ada di tas pinggang sehingga bisa terbang. 

Ine, temanku, sudah janjian dengan Raisa untuk ngasihin si ransel saat manasik Haji offline di Frankfurt pertengahan Mei. Aku dengan bermodal baterai hp yang tinggal 1 persen, akhirnya bisa sampai di bandara, tiba tepat saat counter check in dibuka sekitar pukul 17:00 dan dimudahkan semuanya sampai tiba di Indonesia.

Renungan

Peristiwa ini membuatku berpikir tentang moral dan etika, khususnya di zaman sekarang di mana kepedulian dan empati sepertinya mulai memudar. 

Raisa yang belum pernah bertemu sebelumnya, bisa saja mengindahkan message aku. Apalagi dia harus menempuh jarak sejauh 5 km dan saat pulang dari stasiun bus malah baterai sepedanya habis jadi harus gowes. Masalahnya adalah ransel aku berat dan dia membawa ransel juga. Belum lagi anaknya yang berusia 5 tahun dibonceng di belakang.

Lalu sopir taksi itu, dengan tindakannya yang sederhana namun penuh empati.

Selain itu masih ada lagi beberapa orang yang membuat aku merasa bersyukur di tengah musibah yang dialami.

Ine yang mencarikan solusi, lalu ada suami yang diganggu saat meeting. Belum lagi petugas check di bandara Frankfurt, Flo yang meladeni dan membantu aku lewat telepon, pramugari Air China yang super baik dan menyuruh aku yang demam  buat tidur di bangku kosong, Uje teman adikku dan Meti yang memberikan kamar di apartemen The Branz untuk ditempati.

Ternyata kebaikan hati masih ada di dunia yang semakin sibuk dan terkadang kejam ini, dan bisa datang dari orang yang tidak terduga. Ini adalah pengingat penting bahwa kita semua bisa membuat perbedaan, meski hanya dengan tindakan kecil.

Semoga kita semua terutama aku bisa belajar untuk lebih peduli satu sama lain, sama seperti orang orang baik yang tidak segan menolong aku di hari itu. 


XOXO

You cannot copy content of this page