Eklin Amtor De Fretes, Melawan Segregasi Di NKRI Dengan Dongeng Damai
Eklin Amtor De Fretes adalah pemuda dari Timur yang mempunyai mimpi untuk menyatukan Maluku dan menciptakan kembali sistem kekerabatan kuat di masyarakat yang pernah terjadi sebelum konflik.
Konflik yang dimaksud adalah konflik sosial di tahun 1999-2002 antara agama Islam dengan agama Kristen di Maluku yang telah menyebabkan segregasi masyarakat berdasarkan golongan dan kelompok.
Untuk mengikis perlahan segregasi pemikiran akibat segregasi wilayah di Maluku, Eklin Amtor De Fretes yang lebih dikenal dengan panggilan Kak Eklin, mulai menuliskan cerita anak-anak dan memulai perjalanan mendongengnya sejak awal tahun 2018.
Suka duka dan konsistensinya ini membawa Kak Eklin menjadi salah seorang pemenang SATU Indonesia Awards (SIA) Tingkat Nasional tahun 2020 di bidang Pendidikan.
Optimisme Eklin Amtor De Fretes
Saya bersyukur di bulan Desember 2020 ini, saya mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan Kak Eklin. Melalui saluran telekomunikasi, ia bercerita kepada saya, pemilik blog renovrainbow.com, tentang perjalanannya mendongeng, nilai-nilai yang diyakini dan harapan serta mimpinya untuk Maluku.
Ketika saya menghubunginya Kak Eklin tengah mempersiapkan perjalanannya ke Ambon bertolak dari kepulauan Seram. Dia mengatakan “Saya akan berada di kota Ambon untuk “Acara Berbagi Kado Natal untuk Anak dengan HIV Aids (ADHA) dan kemudian tinggal di sana untuk beberapa bulan”.
Perjalanan yang ditempuh selama beberapa belas jam itu melalui darat dan sungai sudah biasa dia tempuh semenjak kegiatannya mendongeng untuk anak-anak.
Meski tidak seproduktif tahun sebelumnya dan tak sedikit pula hal yang terjadi di luar harapan, Kak Eklin masih tetap bersemangat untuk bercerita dan menyebarkan pesan damai.
Saya pun bertanya apakah pesan damai yang dimaksudkannya itu adalah pesan perdamaian antar suku dan agama?
Melalui pesan suara, Kak Eklin mengungkapkan ” Jika berbicara tentang perdamaian, ini sangat luas. Kita tidak hanya berbicara tentang perbedaan, toleransi, lintas aman. Namun juga ketika kita merawat alam, kita juga mencoba berdamai dengan alam. Ketika kita cinta, mengasihi, berbagi dengan orang lain. Itu berarti kita sedang menghidupkan nilai nilai kedamaian.”
Memberi dan berbagi apa yang kita punya
Kedua nilai di atas yang diambil dari nilai perdamaian, juga menjadi satu hal yang membuat Kak Eklin bahagia dan tetap optimis dengan usaha yang dilakukan seberat apapun rintangannya.
Namun darimana sebenarnya ide mendongeng ini muncul dan apa yang mendasarinya?
Simak terus wawancara saya dengan Kak Eklin di bawah ini.
Perjalanan Eklin Amtor De Fretes Melawan Segregasi Di NKRI Dengan Dongeng Damai
Berawal dari Living Value Education
2016
Kak Eklin mengikuti pelatihan intensif "Interfaith New Generation Initiative and Engagement" berskala Nasional dari Living Value Education di kota Bogor.
Sebelum menemukan ide mendongeng ini, Kak Eklin mengawali dengan pelatihan LVE.
Seperti yang dituturkannya kepada saya, “Selepas menyelesaikan bangku kuliah dari Universitas Kristen Indonesia Maluku jurusan Teologi, saya kemudian mengikuti pelatihan intensif “Interfaith New Generation Initiative and Engagement” yang diadakan oleh Living Value Education (LVE) di kota Bogor pada tahun 2016″
Dikutip dari website resminya, LVE adalah lembaga pelatihan yang ditujukan untuk tenaga pendidik sampai kepada orang tua dengan konsep dan metodologi praktis pengajaran.
Pelatihan ini untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak dan orang muda, menggali dan mengembangkan nilai-nilai universal. Nilai-nilai yang nantinya bisa diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari.
“Bersama dengan trainer lainnya dari seluruh Indonesia, selama pelatihan yang berlangsung beberapa hari kami diajarkan materi yang tercakup di dalam kurikulum LVE. Kurikulum LVE mencakup berbagai aktivitas dengan muatan nilai damai, menghargai, kasih sayang, kerjasama, kejujuran, kerendahan hati, tanggung jawab, kesederhanaan, toleransi, kebebasan dan persatuan.” lanjut Kak Eklin menjelaskan.
Training yang didapatkannya ini, kelak yang menjadi dasar ilmu untuk mewujudkan impiannya melawan segregasi di Maluku.
Komunitas Jalan Merawat Perdamaian (JMP) dan Youth Interfaith Peace Camp (YIPC)
2017
Mengadakan Youth Interfaith Peace Camp sebanyak 3 kali, dengan basis ilmu dari pelatihan LVE. Peserta berasal dari kalangan anak muda berusia 16-25 tahun.
Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman sebagai Trainer LVE, Kak Eklin mendirikan Youth Interfaith Peace Camp (YIPC) pada tahun 2017, untuk teman-teman lintas suku, lintas agama.
“Di dalam kegiatan YIPC ini, kami berkumpul selama dua hari, lalu belajar perdamaian dengan menggunakan metode LVE dan juga dibarengi dengan materi-materi lain terkait perdamaian, toleransi, pluralisme dsb” ujarnya kepada saya dengan penuh semangat.
Sepanjang tahun 2017, YIPC berhasil diadakan sebanyak tiga kali, dengan total jumlah peserta sebanyak 90 orang, dengan latar belakang anak muda berusia 16-25 tahun.
Dana untuk tiga kali pelatihan ini diperoleh dari pengumpulan dana dengan cara menjual cokelat oleh Kak Eklin beserta teman-temannya di Komunitas Jalan Merawat Perdamaian (JMP).
Ketika saya bertanya bagaimana program kelangsungan YIPC ke depannya, Kak Eklin menjawab, “Saya kekurangan dana untuk kegiatan yang mengumpulkan teman-teman muda dalam jumlah yang banyak, maka kegiatan dihentikan dulu sementara.”
Di tahun 2021 nanti, tidak ada program untuk YPIC dikarenakan keterbatasan biaya dan juga pandemi COVID-19.
Mendongeng Damai Lintas Pulau dan Lintas Iman
Seusai usai kegiatan YIPC yang ketiga, Kak Eklin pulang kembali ke Pulau Seram. Kepada saya, dia pun menceritakan asal mula munculnya ide Dongeng Damai.
“Ketika pulang kembali ke Pulau Seram, saya melihat adanya dampak lain dari segregasi wilayah yaitu segregasi pemikiran. Ketika orangtua atau orang dewasa dalam kelompok yang homogen itu sering menceritakan cerita konflik, maka lewat cerita-cerita tersebut anak-anak dapat memasang pelabelan buruk kepada kelompok yang berbeda” ujar Kak Eklin menjelaskan darimana munculnya ide menjadi seorang Pendongeng.
Kak Eklin menambahkan, “Saya lalu tergerak untuk membuat dongeng damai. Saya berusaha untuk mengcounter cerita-cerita konflik itu dengan cerita yang lebih damai yaitu lewat dongeng.”
Kak Eklin bercerita, kendalanya saat itu adalah dia tidak mempunyai kemampuan mendongeng. Namun akhirnya dia memutuskan untuk membeli boneka dari Yogyakarta dan berlatih Ventriloquis dari YouTube selama dua minggu. Boneka yang dijadikan icon itu diberi nama Dodi, akronim dari Dongeng Damai.
Ventriloquis adalah kemampuan berbicara tidak menggerakan mulut, menciptakan ilusi seolah suara berasal dari sumber lain.
Mengapa memilih menggunakan boneka sebagai alat mendongeng?
“Alasan memakai boneka, adalah untuk menarik perhatian dan mempertahankan konsentrasi anak-anak akan cerita yang disampaikan oleh saya”jawab Kak Eklin. Kemudian dia meneruskan kembali kisahnya,
“Bersama Dodi, saya memberanikan mendongeng untuk pertama kalinya di pedalaman Pulau Seram pada saudara-saudara yang beragama suku atau beragama lokal. Namun saya ditolak di situ pada tanggal 1 Januari itu, karena mereka beranggapan saya adalah calon pendeta dan hendak melakukan proses kristenisasi untuk orang-orang di situ. Lalu saya diusir.” tuturnya.
Kemudian kembali dia melanjutkan, “Keesokan harinya saya pindah ke daerah pedalaman suku yang lain. Puji Tuhan, di sana saya diterima dan bahkan saya mendongeng bagi saudara-saudara di tempat mereka biasanya melakukan upacara adat. Kemudian pada tanggal 4, 5 dan seterusnya di bulan Januari 2018 itu, saya mendongeng bagi anak-anak di daerah-daerah perbatasan konflik.”
Usaha Kak Eklin diberikan kemudahan ketika polisi dan tentara melihat kegiatan yang dia lakukan, dan mereka membantu untuk memfasilitasi dengan mengumpulkan anak-anak Muslim dan Kristen di Mesjid, atau di Gereja.
Perlahan namun pasti, Kak Eklin mulai mendongeng ke berbagai pelosok di Maluku. Tidak hanya mendongeng saja, namun dia pun juga diberikan kesempatan untuk memberikan pelatihan mendongeng kepada guru-guru.
Lalu darimanakah dongeng itu didapatkan? Apakah Kak Eklin menggunakan buku cerita yang ada dijual di toko buku?
Pertanyaan saya ini kemudian dijawab oleh Kak Eklin, “Saya menulis sendiri semua cerita anak itu. Materi dongeng yang saya buat dan kumpulkan sendiri dibuat sesuai dengan kebutuhan audiencenya. “
“Biasanya saya akan melakukan analisa sebelum saya mendatangi satu daerah, apa yang anak-anak itu butuhkan. Misalnya kalau disitu segregasi wilayah dan sering terjadi konflik, maka dongeng yang disampaikan mengandung nilai kebersamaan, toleransi.” tutur Kak Eklin.
“Setiap kali saya selesai mendongeng, saya tidak pernah menyimpulkan dari dongeng itu. Dongeng itu adalah media untuk mendidik tanpa menggurui” tambahnya.
Apa yang disampaikannya bukan tidak beralasan, Kak Eklin Amtor menjelaskan maksudnya, “Di akhir kegiatan mendongeng, saya tidak pernah menarik kesimpulan tentang moral dari cerita itu. Saya berusaha memberi ruang imajinasi untuk anak-anak berefleksi dan mencerna, kira-kira nilai apa yang didapatkan dari dongeng tersebut.”
Pendapat Kak Eklin ini hampir sama dengan apa yang disampaikan oleh William J.Kirkpatrick dalam bukunya Books That Build Character: Guide to Teaching Your Child Moral Values Through Story.
Menurut Kirkpatrick, tidak lah bijaksana dan tidak perlu seorang dewasa menjelaskan inti moral dari sebuah cerita. Cerita yang hebat itu mengandung kekuatannya sendiri yang dapat terhalang oleh diskusi orang dewasa.
Rumah Dongeng Damai
2019
Membangun Rumah Dongeng Damai di Ambon. Selain bercerita juga memberikan program Bahasa Inggris, Bahasa Jerman dan Karya Seni.
Saya yang membayangkan berbagai tempat yang pernah Kak Eklin singgahi pasti ada satu tempat yang paling berkesan. Saya pun menanyakannya.
Kak Eklin dengan ramah menjawab, “Setiap tempat yang saya singgahi selalu membawa kesan yang tidak terlupakan. Bahkan tidak sedikit anak-anak dari tempat yang dikunjunginya baik itu di pedalaman maupun di daerah kota, juga teman-teman di luar Maluku yang memberikan apresiasi berupa hadiah berupa buku-buku cerita dan boneka-boneka. Hadiah ini terus saya kumpulkan sampai jumlahnya menjadi banyak. “
“Sampai pada akhirnya, keluarga saya mempunyai inisiatif untuk mendirikan Rumah Dongeng Damai di depan rumah Nenek, tepatnya di atas kuburan Kakek yang rata dengan tanah,” katanya menjelaskan kepada saya tentang Rumah Dongeng Damai.
Di dalam ruangan berukuran 3×4 ini lah Kak Eklin menyimpan buku-buku cerita dan boneka-boneka pemberian itu. Yang kemudian bertambah fungsinya menjadi tempat anak-anak belajar Bahasa Inggris, Bahasa Jerman serta kesenian.
Selain anak-anak, orangtua serta guru lintas iman pun sering mengunjungi Rumah Dongeng Damai untuk belajar mendongeng.
Apa yang diperjuangkan Kak Eklin untuk melawan segregasi di Maluku, sungguh luar biasa dan inspiratif. Dampaknya besar terhadap pendidikan terutama menggerakan tenaga pengajar dan orang tua untuk mencoba metode mendongeng ini.
Sebuah bentuk apresiasi sudah selayaknya diberikan kepada Kak Eklin atas perjuangannya itu. Maka ketika PT Astra International mengadakan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards yang ke-11 dalam rangka semangat Sumpah Pemuda, Kak Eklin berhasil menjadi salah satu pemenangnya. Ini merupakan tipping point bagi perjalanan mendongeng Kak Eklin.
11th SATU Indonesia Awards 2020
Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards adalah penghargaan bagi generasi muda muda bangsa yang tak kenal lelah memberikan sumbangsih manfaat di seluruh penjuru tanah air.
Apresiasi ini diberikan kepada anak bangsa atas perjuangannya di bidang: Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, serta satu kategori yang mewakili kelima bidang tersebut.
Pada tahun ini Astra juga memberikan tambahan kategori khusus kepada para pejuang tanpa pamrih di masa pandemi COVID-19.
Penghargaan ini sudah ada sejak tahun 2010. Sampai dengan tahun 2020 telah tercatat 70 orang pemenang penghargaan SIA dari seluruh Indonesia.
PT Astra International TBK yang menjadi lambang perusahaan yang berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia kini telah membantu Eklin Amtor De Fretes mewujudkan harapan hidup damai berdampingan lintas suku dan lintas iman di Maluku.
Harapan
Saya pribadi menilai apa yang telah dilakukan Kak Eklin sangat inspiratif dan dapat meningkatkan minat anak dan juga orang dewasa terhadap dongeng. Seiring juga dengan keperdulian terhadap menyatukan masyarakat dan mengikis segregasi pemikiran.
Satu pertanyaan terakhir yang saya lontarkan adalah apa harapan Kak Eklin di tahun mendatang?
Kak Eklin menjawab, “Saya mempunyai mimpi untuk mencetak buku Dongeng Damai. Saya telah mempersiapkan tulisannya, tinggal melalui proses editing saja. Buku itu berisi dua muatan.”
“Muatan yang pertama adalah tentang teknik mendongeng bagi orang tua maupun bagi tenaga pendidik atau juga bahkan untuk anak-anak. Lalu muatan yang kedua adalah dongeng-dongeng yang saya tulis dan ceritakan selama perjalanan Dongeng Damai.”lanjutnya.
“Tantangan saya di dalam membuat buku ini adalah link koneksi dan informasi bagaimana mencetak buku juga tentang dana” katanya menambahkan.
Bagi sahabat semua yang berniat untuk membantu Kak Eklin mewujudkan cita-citanya atau ingin mengirimkan buku-buku cerita, bisa menghubunginya langsung di IG nya: @kak_eklin.
Semoga kisah perjuangan Kak Eklin dapat menginspirasi kita untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar kita.
#SemangatMajukanIndonesia #KitaSATUIndonesia
Referensi
Interview dengan Eklin Amtor De Fretes, 15 Desember 2020.
Website Living Value Education
Website SATU Indonesia Awards PT. Astra International Tbk
Jurnal Ilmiah Research Gate, Does Reading Moral Story Build Character.
Friedrich Nietzsche dan Oscar Levy, The Twilight of Idols (Edinburgh: Foulis, 1909)