
Bahan Bakar Nabati (Biofuel), Seramah Itukah Buat Lingkungan?

Saya tertegun ketika bus double decker di London yang sedang saya tumpangi menggunakan bahan bakar nabati (biofuel) berasal dari bubuk kopi.
Sebagai pecinta kopi (yang nggak bisa “berfungsi” dengan baik kalau nggak minum kopi) sekaligus pecinta kendaraan umum (yang ngakunya cinta lingkungan juga), saya pikir, “keren nih kalau tema BBN dijadikan tulisan.”
Tentunya semua orang tahu dan mengenal bahan bakar dengan baik. Apalagi setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan kredit kendaraan dalam satu dekade terakhir, semakin meningkatkan jumlah pemilik dan pengguna kendaraan beroda dua dan beroda empat.
Dulu nih ya, kira-kira satu dekade yang lalu, hanya “yang punya uang” bisa mempunyai kendaraan bermotor karena tidak ada sistem kredit alias harus bayar cash. Kalau sekarang, siapa pun yang mempunyai penghasilan bisa mengajukan kredit ini.
Saya nggak tahu, apakah tingginya angka kendaraan bermotor yang berarti sejalan dengan tingginya angka kebutuhan bahan bakar, yang menjadikan Indonesia sekarang menjadi net importer dalam topik satu ini.
Jadi net importer itu adalah ketika negara lebih banyak mengimpor daripada mengekspor.
Kita tahu dong kalau Indonesia dulu adalah salah satu pengekspor minyak besar. Tapi, namanya sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, lama kelamaan jumlahnya akan menipis juga.
Kita terus menerus mengambil energi dari bumi ini, seakan dunia tempat tinggal adalah “fasilitas” selama kita hidup di dunia.
Jarang terpikirkan kalau bukan hanya spesies yang bernama Homo Sapiens yang hidup di sini, ada flora serta fauna yang terkena dampaknya ketika kita dengan tamaknya terus mengambil dan terus mengambil.
Karenanya, bahan bakar nabati /BBN (biofuel) ini menjadi terobosan yang ramah lingkungan.
Yeay, akhirnya kita tidak hanya mengambil tapi juga memberikan energi kepada bumi.
Bagaimana dengan perkembangan BBN sendiri di Indonesia? Benarkah pada prakteknya, ini benar-benar ramah lingkungan?
Yuk kita cari tahu lebih dalam.
Bahan Bakar Nabati/BBN (Biofuel) di Indonesia
Apa itu bahan bakar nabati/BBN (biofuel)?
Dari awal kita ngomongin BBN, tapi sebenarnya apa sih ini? Ada yang sudah familier kah?

Kalau menurut researcher yang melakukan penelitian terkait BBN adalah seperti ini,



Jadi BBN adalah bahan bakar yang bisa diperbaharui, berbeda dengan bahan bakar yang berasal dari fosil.
Posisi BBN tadinya dibuat pemerintah untuk memenuhi dan mencapai kemandirian energi dalam negeri.
Kita ngobrol sebentar soal kebijakan pemerintah soal ini yuk.
Kebijakan BBN nasional
Sejak tahun 2006, pemerintah Indonesia menginisiasi program BBN di Indonesia. Ini merupakan bagian dari aksi mencapai kemandirian energi dalam negeri karena Indonesia sudah menjadi net importer, yang tadi kita bahas di awal.


Di tahun berikutnya, yaitu di tahun 2008 dibuatlah roadmap biofuel. Tahun 2015, pemerintah menetapkan target B30 lewat Permen ESDM No 12 tahun 2015 yang mana realisasinya dapat kita lihat di awal tahun 2020.
Jadi per Januari 2020, di seluruh SPBU akan tersedia bahan bakar ramah lingkungan, yang mengandung biodiesel 30% (B30).
Tunggu sebentar …
Kenapa tiba-tiba ada yang namanya biodiesel?
Jadi biodiesel adalah jenis dari biofuel. Selain itu ada bioetanol dan minyak nabati murni.
Untuk lebih lengkapnya, mari kita lihat klasifikasi BBN dan juga penjelasan lebih lanjut tentang istilah B20, B30, B100, E100 dan O100 di bawah ini.
Klasifikasi bahan bakar nabati


Bahan bakar nabati terdiri dari bioetanol, biodiesel dan biogas (minyak nabati murni).
Yang pertama yaitu bioetanol atau butanol adalah alkohol hasil fermentasi dari tumbuh-tumbuhan, seperti gandum, tebu, jagung, tanaman umbi-umbian, buah-buahan, hingga limbah sayuran.
Yang kedua yaitu biodiesel yang diproduksi dari teknologi konvensional terbuat dari minyak rapeseed (sejenis bunga), minyak bunga matahari, minyak kedelai, dan minyak buah jarak.
Rapeseed dan bunga matahari adalah dua jenis bunga yang banyak digunakan di Eropa sebagai minyak goreng dan juga biodiesel.
Di Indonesia sendiri, biodiesel kebanyakan diperoleh dari bahan minyak sawit mentah.
Berikutnya adalah minyak nabati murni
Program pemerintah BBN
Ada beberapa program pemerintah terkait BBN, diantaranya B30 yang sebelumnya kita bicarakan di atas. Sebenarnya apa sih pengertian dari B20, B30, B100, E100 dan O100?
20, 30, 100 adalah kadar persentasenya.
Jadi,
B20 atau Biosolar B20, adalah program pemerintah yang mewajibkan pencampuran 20% Biodiesel dengan 80% bahan bakar jenis solar. Program ini diberlakukan sejak Januari 2016.
B30 atau biosolar B30, adalah program pemerintah yang mewajibkan pencampuran 30% Biodiesel dengan 80% bahan bakar jenis solar. Program yang diberlakukan mulai Januari 2020.
B100 adalah Biodiesel yang terbuat dari minyak nabati atau lemah hewani dihasilkan dari proses esterifikasi/transesterifikasi.
Proses transesterifikasi adalah proses pemindahan alkohol dari ester dengan menggunakan alkohol atau methanol sebagai katalis (zat untuk mempercepat laju reaksi).
B100 ini dibuat dari 100% kelapa sawit.
E100 adalah Bioetanol
dan O100 adalah minyak nabati murni
Apakah BBN Ramah Terhadap Lingkungan?
Menurut National Geographic, ide BBN sudah sejak lama ada, bahkan sejak kemunculan mobil dan Ford yang tadinya hendak mengisi mobilnya dengan etanol. Namun, kemunculan bahan bakar fosil membuat ide BBN terlupakan.
Jika ditanya apakah BBN baik atau buruk terhadap lingkungan, kita dapat melihat fakta bahwa implementasi penggunaan BBN sudah banyak diterapkan di banyak negara di dunia.
Implementasi BBN di berbagai negara


Jika kamu mendapat kesempatan jalan-jalan ke benua Eropa, kamu akan banyak melihat pemandangan ladang rapseed (semacam tanaman) dan bunga matahari.
Kamu mungkin bertanya, “Kenapa banyak banget?”. Ternyata itu adalah tanaman yang menjadi bahan baku untuk peruntukan minyak goreng dan bahan bakar nabati(biofuels).
Di Indonesia, kita masih lebih banyak mengandalkan produksi kelapa sawit yang pada praktiknya di lapangan menimbulkan dilema.
Biofuels, baik atau buruk terhadap lingkungan?
BBN selain merupakan sumber yang dapat diperbaharui, juga melepaskan kadar CO2 yang lebih sedikit dari bahan bakar fosil. Selain itu mereka cocok dengan bagian dalam mesin dan tidak menimbulkan efek samping dan kerusakan.
Dari sini kita dapat melihat segi baiknya. Namun, praktek penyediaan bahan baku dari produksi kelapa sawit seperti misalnya di Indonesia, malah menimbulkan polemik lain.
Di satu sisi ingin mencapai kemandirian energi, sementara di sisi lain pembukaan lahan kelapa sawit harus mengorbankan hutan, misalnya dengan membakarnya. Ini sudah sering kita dengar kan? Ah, the same old story!
Pembakaran hutan ini akan melepaskan kadar CO2 yang disimpan oleh tanaman ke udara. Yang mana ini lebih besar dibandingkan dengan kadar CO2 yang dihemat karena penggunaan BBN.
Uni Eropa bahkan menganggap praktik pembukaan lahan kelapa sawit (dengan deforestasi dan kerusakan lahan gambut) ini justru memproduksi tiga kali Gas Rumah Kaca (GRK) (Keating, 2018).
Adakah solusi lain, sementara bahan baku utama BBN Indonesia adalah kelapa sawit?
BBN seharusnya ramah terhadap lingkungan, oleh karena itu kita harus memikirkan alternatif lain yang juga bukan malah merusak bumi kita.
Menuju BBN yang Ramah Terhadap Lingkungan


Ada beberapa cara lain untuk memperoleh BBN yang tidak memberikan dampak buruk terhadap lingkungan, seperti misalnya diversifikasi feedstock (bahan baku), mewajibkan pemasok memiliki sertifikasi berkelanjutan, meningkatkan produktivitas dan ketelusuran feedstock.
Diversifikasi feedstock
Dari peta implementasi BBN dapat kita lihat kalau ada banyak pilihan selain kelapa sawit, yang bisa juga diberdayakan di Indonesia.
Beberapa potensial bahan baku ini bisa dikembangkan di Indonesia, antara lain:
1. Tanaman seperti bunga matahari (Hellianthus annus L.), aren (Arenga pinnata), jarak kepyar (Ricinus communis L.), kelapa (Cocos nucifera L.), kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco), kesambi (Schleichera oleosa Merr), nyamplung (Calophyllum inophyllum L.).
2. Kotoran hewan dan sampah organik.
3. Minyak tanaman, lemak hewan dan minyak jelantah yang telah didaur ulang dapat dicampur dengan bahan bakar diesel.
Minyak Jelantah Sebagai Opsi
Selain dampak kelapa sawit bagi lingkungan, ada banyak alasan lain kenapa ini dinilai kurang sustainable. Salah satu dampaknya yaitu kepada pekebun kelapa sawit mandiri yang tidak mendapat manfaat dari program biodiesel. Alasannya karena perkebunan kelapa sawit dikuasai oleh perusahaan besar.
Jika saja dialihkan ke pekebun mandiri, mereka dapat meningkatkan kesejahteraan dan memberantas kemiskinan. Selain itu pemerintah dapat mengawasi usahanya agar bisa lebih sustainable dan dengan cara-cara yang ramah lingkungan.
Jika ini dapat diterapkan, Indonesia dapat mengurangi kadar emisi dari keseluruhan daur produksi biodiesel.
Alasan lainnya mengapa sebaiknya kita beralih ke minyak jelantah adalah karena konsumsi minyak goreng Indonesia sebesar 13 juta ton atau 16,2 juta kilo liter pada tahun 2019. Dari nilai sebesar ini yang berhasil dikumpulkan adalah sebesar 3 juta liter.
Dari 3 juta liter minyak jelantah dapat berpotensi menghasilkan biodiesel maupun kebutuhan lainnya sebesar 570 ribu KL (Konversi 5 liter minyak jelantah menjadi 1 liter biodiesel). Ini sebagian digunakan untuk minyak goreng daur ulang dan diekspor.
Referensi
Eco Blogger Squad Gathering, 12 November 2021
Apa itu Biofuel?, Website Madani Berkelanjutan
Pahami istilah B20, B30, B100, BBN dalam Bioenergy, website Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi ESDM
National Geographic, biofuels explained
Biofuels news, Used cooking oil collection trial expanded in Germany
Economy ekozone, daftar tanaman yang bisa jadi bahan bakar nabati




You May Also Like


10 Tips Sederhana Agar Hidup Lebih Bahagia Versi Stoik
Oktober 2, 2023

Yakin Terhadap Diri Sendiri, Tanos Gratitude Journal Day 1
Agustus 10, 2020

15 Comments
Moch. Ferry Dwi Cahyono
Bahan bakar alternatif sepertinya harus diteliti dan dimanfaatkan keberadaannya buat masa depan
Wiwid Vidiannarti
Aku baru tau loh kak kalo minyak jelantah itu bisa didaur ulang dan dimanfaatkan lagi.
Lumayan juga ya daripada jadi limbah yang gak bermanfaat.
Indri Ariadna
BBN ini Indonesia ketinggalan dengan negara lain tidak sih hehe…keren mba artikelnya tentang BBN ini, membuka mata saya yang belum pernah tahu tentang bahan bakar nabari ini.
Laily Octavia
Beberapa cara udah mulai digerakkan juga ya kak untuk bbn ini. Salah satunya program sedekah minyak jelantah. Namun sayang masih belum menyeluruh, hanya ada di beberapa daerah saja.
Nanik Nara
Lama banget ya durasinya, mulai diinisiasi tahun 2006 dan baru bisa diluncurkan ke konsumen awal 2020.
Setelah membaca ini, saya jadi berniat ke SPBU besok, pengen mengamati apakah sudah ada biodiesel di SPBU langganan saya. Biasanya ke SPBU langsung ke bagian pertamax buat sepeda motor, nggak nengok antrian bagian mobil
Susindra
Biofuel memang lebih baik daripada bahan bakar lainnya. Lebih sehat dan yang jelas bisa diciptakan sehingga bisa selalu ada. Tapi memang, harus berbagi dengan pangan manusia sehingga harus balance.
Tapi tetap saja bagus dan ayok kita balik ke alam lagi
Ririn Wandes Melalak Cantik
Makin keren aja inovasinya ya,bisa menggunakan bahan bakar nabati (biofuel yang ramah lingkungan tentu akan menjadikan ini digunakan terus di masa depan. Kayaknya perlu baca-baca juga referensinya nih biar nambah insight di masa depan..
Supadilah
Kita sudah di B30 ya Kak? Mudah-mudahan terealisasi. Meskipun banyak tantangannya. Kita punya banyak bahan bakar fosil yang lebih murah. Eh memang sih lebih murah. Tapi lebih merusak juga.
Devi
Dinamika kelapa sawit yang memiliki pro dan kontra sudah lama disadari. Hanya kebijakan pemerintah yang dapat mengurangi dampak negatif dari pembukaan lahan sawit yang tidak ramah lingkungan. Selain itu masyarakat perlu diedukasi terkait dampak negatif dari pemanfaatan sumber energi yang ramah atau kurang ramah lingkungan.
Amir
Semoga kedepan Indonesia bisa menciptakan biofuel B100. Yang artinya penggunaan bahan bakar fosil yang tidak bisa diperbarui dan terus habis. Namun dengan catatan, tidak disertai perluasan lahan dengan cara yang tidak benar seperti pembakaran yang merugikan manusia dan alam.
Mutia Ramadhani
BBN masih jadi polemik di Indonesia ya. Alasannya klasik, kalo BBN, pasti sawit jadi prioritas. Sayangnya sawit memiliki banyak isu lingkungan. Pemerintah juga belum bisa memberikan harga yang layak untuk sawit ketika diolah lanjut menjadi BBN. Jaminan pasarnya belum ada.
Minyak jelantah pun volumenya kalo untuk massal masih belum mencukupi. Jadi ya kita masih terombang ambing nih. Terlepas dari itu yang namanya masa depan pasti semua berorientasi ramah lingkungan. Gak ada yang gak mungkin kalo diseriusi dan win win solution untuk semua pihak.
Nur+Asiyah
Sejak kecil saya sering mendengar jika Jarak bisa dijadikan bahan bakar, tetapi tidak tahu detail bagaimana hal tersebut diproses dan menjadi bahan bakar seperti yang kita inginkan. Sepertinya mengandalkan kelapa sawit memang bukan solusi optimal, semoga tumbuhan lain seperti bunga matahari, kelapa, dll bisa berkembang bagus dan diandalkan di negeri tercinta.
Diska widya
Wah keren ya kak. Tapi kalo a
Kehabisan bahan bakar gimana ya isi ulang kan bahan bakar nabati. Pasti susah dihasilkan
Richa
Wow, keren bangeeet, bahan bakar busnya dari bahan nabati. Baru dengar lho saya
Wahid
BBN memang sudah mulai digencarkan ya termasuk pembuatan panel surya sebagai EBT. Saya sangat setuju banyak peneliti yang terus mengembangkan EBT dan BBN ini karena bonus demografi dan kekayaan alam Indonesia yang melimpah.